Sebab dalam sistem tertutup, masing-masing partai politik telah menentukan terlebih dahulu siapa yang akan memperoleh kursi di pemilu nanti.
Calon yang menempati urutan tertinggi dalam daftar ini berpeluang besar mendapat kursi di parlemen.
Sementara calon yang diposisikan sangat rendah pada daftar tertutup tidak akan mendapatkan kursi.
Kader yang tak punya banyak uang untuk 'menyetor' ke parpol jangan berharap bisa nyalon.
Wajar saja dalam sistem proporsional tertutup ketua umum sangat absolut dalam menentukan siapa kader yang dekat dengannya bisa dengan mudah mendapat kursi empuk di DPR/MPR.
Tentu saja berbeda dengan sistem proporsional terbuka. Kandidat dipersiapkan langsung oleh partai politik.
Meski peluang 'setoran' ke parpol selalu ada, namun biasanya dipilih kader yang memang memiliki banyak massa di akar rumput.
Jadi, dalam sistem proporsional terbuka, memberikan kesempatan kepada pemilih untuk menunjuk wakil yang benar-benar mau memperjuangkan kepentingan bersama.
Dalam sistem tertutup, belum tentu rakyat mengenal siapa kandidatnya. Mereka hanya memilih partai politik.
Padahal sudah jelas ada dogma yang menyebut bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Wakil yang duduk di kursi parlemen benar-benar pilihan rakyat.
Ketika aspirasi tak diindahkan oleh kandidat terpilih, maka dia mengkhianati Tuhannya.