ADVERTISEMENT

Kopi Pagi Harmoko: Tak Cukup Hasrat Menguasai

Kamis, 8 Desember 2022 07:00 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

"Hasratdirimenguasaiakanberbuahkebaikandanbermanfaatbagibanyakorangjikadikendalikansecarabaikdanbenar.Bukanmelaluitipudaya,tipumuslihatdengantopengkepalsuanmenebarpencitraan"-Harmoko-

APAKAH salah hidup dengan berlimpah harta benda, punya kendaraan super mewah, rumah bak istana raja? Jawabnya tidaklah salah. Menjadi salah, jika semuanya itu menjadi tujuan utama hidupnya dengan menghalalkan segala macam cara. Sebut saja korupsi dan manipulasi.

Begitu juga ketika ditanyakan apakah salah berlomba meraih kekuasaan? Jawabnya akan sama, tidaklah salah. Yang salah jika untuk mendapatkannya dengan menghalalkan segala macam cara, seperti bermain curang, menindas pihak lain, mengancam, mengintimidasi, mengelabui hingga membeli hak suara.

Perilaku semacam ini, jelas jauh dari etika dan adab budaya bangsa yang sejak negeri dilahirkan sudah menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, kejujuran dan keadilan sebagaimana terukir jelas dalam butir-butir pengamalan pedoman hidup kita, Pancasila.

Tidak dapat dipungkiri, hasrat paling kuat dalam diri manusia adalah keinginan untuk menguasai (the will to power). Itulah sebabnya hasrat berkuasa dengan tampil sebagai kandidat capres-cawapres, kepala daerah dan anggota dewan melalui kontestasi politik adalah sebuah kelaziman.

Hasrat ini baik, jika dilakukan dengan baik pula. Yang tidak baik, jika hasrat diri berkuasa dilakukan dengan memaksakan kehendak yang dapat berakibat merugikan orang lain, merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Menguasai sesuatu, apakah itu harta benda, kekuasaan dan jabatan adalah sah-sah saja jika dilakukan sesuai dengan etika dan norma yang ada. Dalam bahasa hukum disebut legal formal dan prosedural.

Tetapi tidak dianjurkan, jika dilakukan secara paksa. Agama apapun tidak mengajarkan cara-cara mengambil kekuasaan secara paksa. Ajaran luhur juga tidak menganjurkan adanya pemaksaan kehendak sebagaimana tercermin dalam filosofi bangsa kita.

Bahkan, kita dianjurkan untuk menunda hasrat individu yang berlebihan, demi kepentingan dan cita-cita yang lebih tinggi lagi, yakni hasrat bersama dan cita-cita bangsa.

Maknanya hasrat diri, kepentingan pribadi untuk menguasai harus ditanggalkan, jika ada kepentingan yang lebih besar lagi, keutuhan dan kesatuan bangsa, kesejahteraan masyarakat, keadilan dan kemakmuran. Bahkan, dalam ajaran Budhisme, hasrat dianggap sebagai penyebab semua penderitaan. Dengan menghilangkan hasrat, seseorang dipercaya bisa mencapai kebahagiaan tertinggi atau Nirwana.

Halaman

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT