Sementara kita tahu pada masyarakat yang dipenuhi kecurigaan rentan menghadirkan aksi destruktif (main hakim sendiri) ketika apa yang diyakininya dikoyak – koyak pihak lain.
Di sinilah perlunya perilaku politik yang lebih beradab untuk mengikis habis rasa saling curiga, saling menyerang dan menghakimi tanpa alasan, memberikan stigma tanpa didukung data , seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Seseorang dapat dikatakan beradab, jika memiliki kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti. Terdapat kelembutan dan kehalusan dalam bertutur kata, bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari – hari. Di mana pun, kapan pun dan kepada siapa pun.
Ini sejalan dengan makna dari penjabaran butir – butir sila kedua falsafah bangsa, Kemanusian Yang Adil dan Beradab.
Perilaku yang semakin menunjukkan adanya saling menghargai antar-sesama, semakin mengakui persamaan hak dan derajat masing – masing individu. Menghargai berarti tidak saling mengganggu, tidak menghalang – halangi, dan tidak memaksakan, apalagi jika sampai melakukan kekerasan untuk memaksakan kehendak kepada orang lain.
Politik beradab adalah perilaku politik yang menebarkan kesantunan, bukan memproduksi kecurigaan. Menghargai perbedaan, bukan mempersoalkan perbedaan. Menghargai eksistensi hak asasi, bukan memprovokasi dan menghalang – halangi.
Mari kita kelola persaingan politik jelang pilpres secara lebih beradab, bukan untuk biadab. Bersaing secara sehat dan beradab. Tidak mengkriminalisasi lawan. Kalau kemudian “Menang tanpa ngasorake” – Menang tanpa merendahkan lawan untuk mencegah timbulnya kegaduhan.
Dengan lingkungan yang beradab akan menciptakan kedamaian, ketenangan dan kenyamanan. (Azisoko)