ADVERTISEMENT

Pekerja Migran di Qatar, Kisah Duka dan Tertimpa Petaka

Selasa, 29 November 2022 08:00 WIB

Share
Pekerja duduk di samping replika Piala Dunia di luar Stadion Lusail Qatar pada 10 November 2022.
Pekerja duduk di samping replika Piala Dunia di luar Stadion Lusail Qatar pada 10 November 2022.

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Adam Sobel tidak terlalu menyorot kesengsaraan para pekerja migran. Dia punya alasan sendiri.

"Karena saya pikir sudah banyak media yang menyorot topik ini dan banyak dari media tersebut telah melihat pekerja migran sebagai korban. Saya tahu jika film ini ingin memiliki makna, film ini harus memberdayakan mereka dalam beberapa cara, termasuk menghormati harapan mereka, impian mereka, pengorbanan mereka, dan tentunya tidak melihat mereka sebagai korban," lanjutnya.

Banyak cerita memilukan seputar pekerja migran di Qatar. Demikian laporan AFP seperti dikutip dari Reuters pada November ini.

Pekerja konstruksi asal Filipina Jovanie Cario adalah satu di antaranya. Ketika perusahaannya berhenti membayarnya pada 2018 maka dia sengaja ditangkap agar bisa makan gratis di penjara.

Jovanie Cario, menghabiskan enam tahun di Qatar, mengatakan hal tersebut adalah taktik umum di antara para migran Filipina yang berjuang untuk bertahan hidup.

Pekerja yang lapar akan menunjukkan dokumen yang sudah tidak berlaku kepada polisi Qatar yang akan mengunci mereka selama satu malam. Kemudian memberi mereka makan dan membiarkan pergi. "Ketika kami dibebaskan dan kembali ke tempat tinggal kami, perut kami sudah kenyang."

Jovanie Cario tiba di Qatar pada 2012, dua tahun setelah negara itu dinobatkan sebagai tuan rumah Piala Dunia. Dia memasang panel kaca dan aluminium di beberapa proyek konstruksi, termasuk Stadion Lusail berkapasitas 80.000 kursi dekat Doha, di mana final akan diadakan pada 18 Desember.

Pengalaman Sravan Kalladi tidak kalah mengharukan. Dia dan ayahnya, Ramesh, sama-sama bekerja di perusahaan yang membangun jalan menuju stadion Piala Dunia.

Tetapi hanya Sravan Kalladi yang pulang ke India. Setelah melalui banyak waktu kerja yang panjang dan melelahkan, ayahnya yang berusia 50 tahun pingsan, dan meninggal di kamp tempat mereka tinggal.

Sravan Kalladi menyebutkan kondisi kerja tidak baik sama sekali. Dia menggambarkan jam kerja yang panjang dan lembur yang dibayar rendah.

Halaman

ADVERTISEMENT

Reporter: Ignatius Dwiana
Editor: Ignatius Dwiana
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT