ADVERTISEMENT

Pekerja Migran di Qatar, Kisah Duka dan Tertimpa Petaka

Selasa, 29 November 2022 08:00 WIB

Share
Pekerja duduk di samping replika Piala Dunia di luar Stadion Lusail Qatar pada 10 November 2022.
Pekerja duduk di samping replika Piala Dunia di luar Stadion Lusail Qatar pada 10 November 2022.

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

POSKOTA.CO.ID - Penampilan mewah banyak dihadirkan di Piala Dunia Qatar.

Namun ada banyak cerita duka seputar para pekerja migran di balik itu semua.

Mereka bekerja membangun prasarana yang dibutuhkan pesta sepak bola akbar yang pertama kali diselenggarakan di jazirah Arab itu. 

Jumlah mereka ratusan ribu. Sebuah perhitungan menunjukkan jumlah mereka sekitar 90 persen dari populasi Qatar saat ini yakni 2,8 juta. Mereka umumnya datang dari anak benua India dan Filipina. Beberapa lainnya dari negara-negara Afrika seperti Kenya dan Uganda.

Impian mereka sama yaitu “menjadi kaya dengan bekerja di negara kaya minyak itu”. Iming-iming gaji besar dan fasilitas menggiurkan memupus kesedihan mereka yang terpaksa harus meninggalkan orang-orang yang mereka cintai.

Apa hal ini terwujudkah? Sulit untuk menjawabnya karena tidak ada survei akurat mengenai hal itu. Namun banyak berita beredar yang mengungkap betapa kandasnya impian-impian para pekerja migran itu.

Keamanan kerja yang buruk, upah yang tidak dibayar, tingginya risiko cedera, dan kematian adalah cerita yang tidak pernah putus-putusnya beredar. Beberapa lembaga HAM, termasuk Amnesty International, sempat menyebut lebih dari 15.000 pekerja migran tewas terkait persiapan Piala Dunia sejak 12 tahun lalu. Jumlah tersebut saat ini masih diperdebatkan kebenarannya dan dibantah pemerintah Qatar.

Kisah hidup para migran itu sempat diprotet dalam film dokumenter “The Workers Cup” yang menyorot turnamen sepakbola antarklub pekerja migran yang diselenggarakan di Doha setiap tahun sejak emirat itu mempersiapkan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia.

Sutradaranya Adam Sobel sebetulnya tidak ingin menyorot para pekerja migran sebagai korban dalam film tersebut. Tetapi mau tidak mau kondisi kerja dan tempat tinggal yang buruk di kalangan pekerja migran tergambar jelas dalam film ini.

"Turnamen diselenggarakan di beberapa stadion yang ikut dibangun mereka. Dalam hal tersebut hampir seperti fantasi bagi tokoh-tokoh utamanya. Mereka menyelami fantasi sepak bola tetapi kemudian ketika turnamen berakhir dan pertandingan berakhir, mereka akan kembali ke kamp dan kembali hidup sebagai warga kelas terendah di negara terkaya di dunia ini. Jadi pasang surut adalah bagian dari film ini dan saya pikir pasang surut itu menggemakan pengalaman para pekerja yang datang dengan harapan dan impian ini dan kemudian mereka menemui kenyataan yang membuat mereka jatuh terpuruk,” jelasnya.

Halaman

ADVERTISEMENT

Reporter: Ignatius Dwiana
Editor: Ignatius Dwiana
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT