Jika tidak, bangunan koalisi hanya sesaat, untuk memenangkan capresnya, setelah itu kembali ke habitat politiknya. Boleh jadi, lebih terbelah dan terpecah karena salah satu pihak merasa tersakiti, dikhianati.
Diperlukan keteladanan tokoh berpengaruh dengan mengedepankan toleransi,
tenggang rasa, tepo saliro, tidak semena- mena, tidak memaksakan kehendak dan pendapat parpolnya yang paling benar.
Bukan pula saling memprovokasi, apalagi menebarkan sikap saling membenci dan menyakiti. Sebab, tak ada orang yang terlahir untuk membenci orang lain karena warna kulitnya, latar belakangnya, atau agamanya, apalagi sikap politiknya. Ingat! Kita tidak dilahirkan untuk saling menyakiti.
Rakyat sadar betul, kita sudah memasuki tahun politik dengan segala dinamikanya sebagai tahun persiapan hajatan terbesar pemilu yang dilaksanakan serentak, yakni pilpres dan pileg, disusul pilkada.
Jika disebut suhu politik makin panas wajar-wajar saja karena menjelang pergantian kepemimpinan nasional. Hati boleh panas, tetapi kepala harus tetap dingin untuk berpikir lebih rasional, bukan emosional, berpikir rasional untuk kepentingan yang lebih luas yaitu kemajuan bangsa.
Negeri jiran, tetangga kita, meski pemilu yang dipercepat karena gejolak politik dalam negeri akibat perebutan kekuasaan selama tiga tahun terakhir, tetap mampu menggelar pemilu pada 19 November 2022 dengan tertib, tanpa gejolak.
Apalagi negeri kita yang tanpa gejolak, hendaknya akan lebih baik lagi.
Kalau terjadi pro dan kontra, beda pendapat, saling menyerang dapat dipahami sepanjang masih dalam batas toleransi untuk saling memperbaiki diri. Tetapi jika menyerang untuk menjatuhkan karena iri dan dengki, semata tidak ingin tersaingi, hanya karena sakit hati, ini bentuk pengingkaran demokrasi Pancasila yang mengajarkan nilai-nilai etik dan moral kebangsaan.
Demokrasi bukan menang-menangan, bukan pula memaksakan, tetapi menyelaraskan semua kepentingan demi membangun bangsa dan negara guna mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Begitupun dalam membangun koalisi, jargon demi kepentingan rakyat, perjuangan untuk rakyat, pembangunan buat rakyat, kesejahteraan dan kemakmuran untuk rakyat dan semuanya untuk rakyat, bukan sebatas slogan.
Janganlah setelah terbangun koalisi, memenangkan kontestasi, lupa dengan jargon koalisinya sehingga rakyat dibiarkan menanti tak pernah menikmati. Padahal rakyat tak hanya dijadikan jargon perjuangan tetapi telah berjuang ikut memenangkan dengan memberikan hak pilihnya.
Bagaikan peribahasa “Gupak pulute, ora mangan nangkane” – sudah ikut berjuang susah payah, tetapi tidak menikmati hasilnya. (Azisoko)