ADVERTISEMENT

Kolaborasi, Buang Ego Kekuasaan

Kamis, 17 November 2022 06:30 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

“Kolaborasi akan semakin kuat jika diawali dengan keterbukaan dan kejujuran. Kian solid jika masing- masing pihak melepaskan ego sektoral, ego kekuasaan dan kekuatan.”  -Harmoko-
 
Kata “Kolaborasi” belakangan santer didengungkan berbagai kalangan, tak hanya di jajaran pemerintahan, juga politisi, akademisi, praktisi, dan dunia bisnis. Sering disebut kolaborasi menjadi kata kunci untuk mengatasi pembelahan politik yang kian tajam, di tengah ketidakstabilan ekonomi dan geopolitik internasional. Benarkah? Benar jika kolaborasi dilakukan dengan penuh keikhlasan, tanpa paksaan, tanpa campur tangan kekuasaan, tanpa pula menonjolkan ego sektoral.

Legowo pula, jika dalam kolaborasi yang terwujud kemudian, akhirnya tidak tampil yang pertama, tidak berdiri paling depan, tidak juga mendapat sanjungan seperti sebagaimana selama ini diperlakukan. Itulah makna melepaskan ego sektoral institusi, jabatan dan kekuasaan yang merasa dirinya paling wah, paling hebat dan kuat, paling baik, benar dan pintar.
Selama ego sektoral, ego kekuasaan dan ego jabatan masih erat melekat dalam diri, kolaborasi yang sesungguhnya hanyalah mimpi.

Kalaupun kolaborasi terbentuk, boleh jadi hanyalah mengejar obsesi tanpa aktualisasi. Kita sepaham paradigma kolaborasi harus menjadi inspirasi dalam setiap gerak langkah masyarakat dan pemerintah mengingat tantangan persoalan bangsa di masa depan semakin kompleks. Tidak hanya beragam, juga kian berat yang sangat potensial mendatangkan kerawanan sosial.

 

Kondisi semakin tidak kondusif, lebih – lebih ketika memasuki tahun politik yang tentunya akan penuh trik dan intrik. Potensi semakin terpecah menjadi  sinyal yang acap dihembuskan, apalagi dikaitkan dengan politik identitas yang dikhawatirkan akan dimainkan kandidat guna memenangkan Pemilu 2024. Perlunya mengedepankan politik kolaborasi, bukan polarisasi, adalah bagian untuk melawan politik identitas.

Politik kolaborasi adalah menjadikan keutuhan bangsa di atas kepentingan individu, golongan dan kekuasaan agar terbentang harapan menuju persatuan. Membangun masa depan bangsa dengan  penuh kesadaran bahwa perbedaan dan keberagaman adalah keniscayaan yang harus dijadikan kekuatan membangun kebersamaan. 

 

Keberagaman bukan untuk dipertentangkan, diperdebatkan dan dicari –cari alasan sehingga semakin menajamnya perbedaan yang berujung kepada pembelahan. Awalnya pembelahan kelompok beda pendapat, kemudian beda kepentingan untuk saling menyerang dan menjatuhkan.

Padahal kita tahu, di negara demokrasi Pancasila, kontestasi politik bertujuan memperjuangkan nilai – nilai kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh umat, tanpa pembedaan karena latar belakang agama dan lain – lain. Artinya bukan menaburkan rasa saling curiga karena beda latar belakang, bukan menebar permusuhan karena beda dukungan, bukan pula saling menjatuhkan karena tidak segolongan, sealiran, atau beda pilihan.

Semangat kolaborasi sejatinya telah dicontohkan para leluhur kita melalui gerakan gotong royong. Itu bentuk kolaborasi tanpa menonjolkan ego masing – masing warga yang terlibat di dalamnya. Tidak saling sikut, tidak pula saling bermusuhan. Ego masing – masing luluh menjadi kebersamaan demi membangun lingkungan. Sepi ing pamrih, rame ing gawe- melakukan pekerjaan tanpa pamrih.

Halaman

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT