ADVERTISEMENT

Hidayat Nur Wahid Minta PMA tentang Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Direvisi

Senin, 24 Oktober 2022 14:27 WIB

Share
Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid. (foto: poskota/rizal)
Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid. (foto: poskota/rizal)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Diterbitkannya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Pada Kementerian Agama mendapat catatan kritis dari Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW).

Karenanya, HNW melihat ada beberapa poin yang perlu dievaluasi dan diperbaiki dari muatan PMA tersebut, diantaranya tidak dimasukkan nilai agama dalam konsideran dan pencegahan kekerasan seksual, serta penyebutan satuan pendidikan Agama secara diskriminatif.

Menurutnya, tidak adil karena hanya menyebut jenis pendidikan Agama Islam (Madrasah dan Pesantren), padahal Kemenag juga membawahi berbagai jenis lembaga pendidikan dari semua Agama yang diakui di Indonesia.

“Kemenag, sesuai namanya, seharusnya memasukkan aspek nilai-nilai agama dalam upaya mencegah kekerasan seksual di satuan pendidikan keagamaan," kata HNW, Senin 24 Oktober 2022.

Karena, lanjutnya, dalam Agama Islam termasuk Fiqihnya, misalnya, banyak sekali ajaran-ajaran dan kaidah yang preventif, untuk penghindaran dan pencegahan terhadap kekerasan maupun kejahatan seksual.

Kemenag, sesuai namanya dan komitmennya, juga tidak boleh diskriminatif dengan hanya menyebutkan satuan pendidikan Islam seperti Madrasah dan Pesantren, dengan tidak menyebutkan satuan pendidikan keagamaan lainnya. 

"Kemenag seharusnya menjadikan PMA itu untuk semua satuan pendidikan keagamaan secara definitif. Karena para murid dari berbagai sekolah keagamaan di luar Islam pun juga berhak mendapatkan keadilan dan kesetaraan perlakuan dan perlindungan Negara dari kekerasan dan kejahatan seksual,” disampaikan HNW.

PMA 73/2022 berisi 20 pasal yang mengatur definisi, bentuk, hingga penindakan kekerasan seksual di lingkup pendidikan keagamaan. PMA ini menjadikan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai salah satu dasar hukumnya.

Sayangnya, Hidayat menilai ada perbedaan pendekatan yang fundamental antara PMA 73/2022 dengan UU 12/2022. Hal itu jelas terlihat sejak Pasal 1 mengenai definisi.

"Penggunaan definisi dalam PMA yang menjabarkan berbagai bentuk kekerasan seksual tidak sesuai dengan UU 12/2022 yang membatasi pada aspek unsur tindak pidana. Jika dirujuk kepada pembahasan akhir UU 12/2022, disepakati bahwa yang menjadi fokus adalah tindak pidana kekerasan seksual, bukan kepada bentuk daripada kekerasan seksual tersebut," tegasnya.

Halaman

ADVERTISEMENT

Reporter: Rizal Siregar
Editor: Cahyono
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT