ADVERTISEMENT

Nuswantara Jaya Kembali (2)  

Kamis, 20 Oktober 2022 06:00 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Cukup beralasan, jika kita sebagai penerus bangsa, pemegang estafet kepemimpinan di segala level, menggali kembali ilmu pengetahuan para leluhur yang pernah membuat bangsa ini berdikari, tentu dipadukan dengan teknologi yang ramah lingkungan. Contoh untuk kemandirian pangan yang memanfaatkan sumber daya alam negeri kita adalah biosoka.

Masih banyak kreativitas hasil karya lainnya dari para anak negeri untuk membangun kemandirian pangan, energi dan kekuatan ekonomi. Negara wajib hadir memfasilitasi, memberikan dukungan, tak hanya anggaran, juga keteladanan.
Ini penting mengingat generasi era kini tak butuh doktrin, pengarahan, ceramah, tetapi contoh aksi nyata dari sosok yang merasa dirinya elite politik dan pemerintahan.

Kita memiliki keunggulan SDM dengan jumlahnya, kini tercatat sudah 275 juta jiwa. Tugas besar kita adalah bagaimana menciptakan keunggulan SDM yang kualitasnya  tidak hanya sejajar dengan bangsa lain, tetapi harus lebih baik karena bangsa kita memiliki keunggulan tersendiri yang tidak dimiliki bangsa lain yaitu Pancasila dan kearifan budaya warisan leluhur.

Potensi adat budaya, kearifan lokal di bidang pangan, energi, dan kekuatan ekonomi, jika dikemas sedemikian rupa akan menjadi keunggulan bangsa kita di dunia karena keunikannya, ciri khasnya yang tiada duanya, sehingga mampu menguatkan dan meningkatkan sel tubuh seluruh rakyat Indonesia.

Ini perlu ada kekuatan besar sebagai pendorong melalui aksi nyata yang ditularkan dan diteladankan oleh para pejabat negeri di semua tingkatan, mulai dari kepala negara hingga abdi negara siapa pun dia.

Mari kita pupuk kearifan lokal sebagai potensi negeri yang merupakan modal pembentukan karakter luhur. Bangsa akan besar atau menjadi besar, jika memiliki karakter kuat yang bersumber dari budaya luhur, nilai - nilai yang digali dari budaya masyarakatnya, bukan menjiplak budaya asing, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Dalam peribahasa  Jawa dikenal juga "Deso mowo coro, negoro mowo toto” - yang artinya  “Desa memiliki adat, negara memiliki aturan ”. Makna lebih luas lagi, desa memiliki tradisi budayanya masing-masing, memiliki kondisi budaya yang terbangun sejak dulu, secara turun temurun dan membentuk karakter bangsa. Itu perlu dijaga sebagai potensi bangsa. (Azisoko)

Halaman

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT