ADVERTISEMENT

Kekuatan Pendobrak

Kamis, 22 September 2022 05:55 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

“Para suhu yang turun gunung hendaknya tetap berpegang kepada “ideologi kesuhuannya” membela rakyat, bangsa dan negara. Bukan demi kepentingan murid kesayangan untuk duduk di singgasana,” – Harmoko
 
Jika dikatakan suhu politik belakangan ini kian memanas, sulit terbantahkan. Begitu juga, kalau kemudian disebut politik pecah belah kian merambah, bukan pula menjadi masalah, sepanjang bertujuan memecah kekuatan yang terkonsentrasi pada kelompok. Baru menjadi masalah, jika diciptakan para elite untuk membelah bangsa, semakin terkotak – kotak.

Beragamnya aspirasi adalah hal yang tidak bisa dipungkiri sebagai konsekuensi logis Indonesia yang penuh dengan keberagaman. Beragam suku, agama, ras, adat budaya bangsa yang sejatinya menjadi penopang persatuan dan kesatuan. Itulah Bhinneka Tunggal Ika (berbeda – beda, tetapi tetap satu), semboyan bangsa kita yang wajib kita jaga.

Maknanya keberagaman perlu kita rawat bersama, siapapun dia, perbedaan aspirasi wajib kita hormati, beda dukungan kita junjung tinggi, tetapi tidak lantas mengebiri aspirasi itu sendiri.

 

Memotong aspirasi, hak asasi demi keuntungan diri sendiri, kelompoknya, koleganya agar dapat selalu manggung dalam puncak kekuasaan tertinggi, utamanya eksekutif dan legislatif, sangat tidak dibenarkan.
Bayang – bayang oligarki, otokrasi atau apapun namanya, hendaknya jauh dari negara kita yang berdemokrasi Pancasila, apalagi sampai menjadi nyata adanya.

Kita tahu, sentuhan oligarki dalam kekuasaan sering menghasilkan produk (keputusan ataupun kebijakan) yang mengecewakan masyarakat. Jika kondisi terus berlanjut, tanpa sebuah solusi, berujung kepada melemahnya kepercayaan publik kepada pemerintah, termasuk elite dan koleganya yang sedang berada di lingkar kekuasaan.

Mencuat ke permukaan, setelah para elite parpol saling serang dengan mempertahankan pendapatnya yang paling benar. Seperti terlihat sekarang ini, para elite partai sudah saling serang pernyataan, kritik dibalas dengan kritik. Bukan kritik disikapi secara bijak untuk seterusnya introspeksi.

Ada kecenderungan, kritik tajam, dibalas semakin tajam, lebih pedas dan meluas. Kritik terkait dengan kenaikan harga BBM misalnya, perdebatan yang berkembang kemudian, bukan urgensi soal kenaikan, dampak dan solusinya. Tetapi meluas dengan mengungkit kemajuan dan kemunduran kader partai yang duduk di kekuasaan, baik di pusat maupun daerah. Jika sudah “menguliti” person, konflik akan semakin tajam, lebih – lebih jika  “benih konflik” sudah tertanam sejak lama, karena beda mazhab politik.
Yang didapat rakyat kemudian adalah tontonan, bukan tuntunan bagaimana segera mengangkat harkat dan martabat bangsa dari keterpurukan akibat dampak kenaikan harga.

Saya tidak mengatakan bahwa ini adalah trik pengalihan isu agar protes kenaikan harga BBM segera mereda, termasuk meredanya kritik kepada sejumlah tokoh yang ikut terbawa- bawa dengan historis kenaikan.
Sisi lain yang ikut mewarnai, kian memanasnya suhu politik jelang pilpres terlihat dari gerakan, manuver sejumlah “king maker”. Sejumlah suhu parpol sepertinya sudah mulai bergerak turun gunung mengantisipasi gelagat, yang menurut pendengaran dan penglihatannya, ada tanda – tanda bisa ‘tidak adil dan tidak jujur’.

Dalam cerita silat, jika suhu sudah turun gunung dari pertapaannya, berarti sangat urgen, situasi sudah sangat genting yang tidak bisa diselesaikan oleh para punggawa dan satria kinasihnya. Biasanya para suhu yang membela kepentingan rakyat akan bersatu padu memerangi ketidakadilan.

Halaman

ADVERTISEMENT

Editor: Deny Zainuddin
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT