Partai Persatuan Penguasa

Rabu 14 Sep 2022, 05:16 WIB
Lambang PPP. (ist)

Lambang PPP. (ist)

Oleh : Alfin, Wartawan Poskota


Kisruh internal Partai Persatuan Pembangunan berujung pada pelengseran Suharso Monoarfa dari kursi ketua umum dalam Musyawarah Kerja Nasional di Serang, Minggu lalu. Partai Ka'bah secara maraton kemudian memilih pelaksana ketua umum partai yang baru, Muhammad Mardiono. Mardiono merupakan Ketua Majelis Pertimbangan PPP yang kini menjabat sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Joko Widodo.

Titik awal pergolakan PPP ini muncul usai Suharso menyinggung 'amplop kiai' dalam kegiatan Pembekalan Antikorupsi Politik Cerdas Berintegritas untuk PPP beberapa waktu lalu. Ia memang mengaku tak bermaksud menyudutkan para kiai pesantren, tapi pernyataannya kadung viral dan menuai kecaman publik. Selain karena hal tersebut, Suharso menemui ajal politiknya karena ia dinilai gagal mengerek elektabilitas PPP.

Centang-perenang dalam tubuh partai politik, terutama kalangan elitenya, bukan hal baru. PPP hanyalah yang kesekian kalinya menyusul kisruh internal yang pernah terjadi di Partai Kebangkitan Bangsa, Golkar, dan Partai Demokrat. Konflik internal sebenarnya bisa dipandang baik jika para politikusnya punya dua hal berikut.

Pertama, konflik ditujukan untuk kepentingan konstituen. Kedua, demi menjamin syarat pertama, partai politik melaksanakan aturan pencopotan ketua dan pengurus secara transparan dan mandiri.

Sayangnya, syarat pertama sudah lama tak terlihat. Partai politik yang awalnya membawa aspirasi masyarakat kini sudah digerogoti oleh penguasa. Alasannya menggelikan, mereka bergantung dengan anggaran kekuasaan agar tetap eksis. Karena alasan yang terlalu pragmatis ini, partai politik akhirnya hanya menjadi alat bagi penguasa, bukan lagi bervisi menjadi sarana mencapai kepentingan konstituen.

Harusnya, elite penguasa tak ikut-ikutan mencampuri kisruh internal partai mana pun. Apalagi jika alasannya demi menjaga stabilitas politik negara. Presiden Jokowi mesti sadar bahwa 'mengajak' partai politik sebagai koalisi dengan siasat menciptakan konflik internal akan berujung padamnya demokrasi di negeri ini.

Jokowi bukan orang bodoh, tapi hanya tak paham soal esensi demokrasi. Upayanya yang berhasrat menggemukkan koalisi di DPR adalah petanda paling mencolok mengapa Jokowi layak disebut tak memahami demokrasi. Dengan banyaknya suara koalisi di legislatif, Jokowi bisa jalan dengan agendanya tanpa ada kritikan yang berarti dari oposisi.

Sikap Istana yang gemar merecoki partai politik ini amat terlihat ketika Jokowi tutup mata terhadap upaya Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang ingin mengambil alih Partai Demokrat tahun lalu. Istana begitu resah jika ada partai politik yang pemimpinnya berseberangan dengan mereka.

Siasat politik yang tak sehat ini harus segera dihentikan. Masyarakat mengingatkan adanya partai politik yang bebas aktif dan etis dalam menjalankan demokrasi, tanpa ada campur tangan penguasa. Kisruh PPP menunjukkan adanya gelagat itu, antara lain dengan menempatkan orang terdekat Jokowi untuk maju sebagai ketua umum. PPP kini resmi menjadi Partai Persatuan Penguasa.

 

 

 

News Update