"No Viral, No Justice!" seru Syamsuddin kepada dua teman ngobrolnya di sebuah warteg pojokan Pos Pengumben. "Apaan tuh?" sahut Ipal, salah satu teman ngobrolnya yang masih serius main game online di perangkat lunaknya.
"Tidak viral, tidak ada keadilan!" jawab Syamsuddin menjelaskan. "Hari gini kalau mau dapatkan keadilan hukum harus viral dulu. Kalau nggak gitu, gak bakalan diurusin penegak hukum," ucap Syamsuddin lagi menegaskan kalimatnya.
"Iya, kayaknya sih begitu. Coba kalau orang kecil kayak kita, pas lagi berperkara atau jadi korban kejahatan, belum tentu ditanggapi. Datang ke kantor polisi kehilangan motor doang, cuma disuruh pasrah," sahut Ismail, teman satunya. Ismail pun menceritakan bagaimana ketika dua bulan lalu ia harus kehilangan motor. Kemudian melaporkan peristiwa yang dialaminya ke polisi.
"Ya, dilayani sih. Surat keterangan hilangnya dikasih. Itu juga paling buat formalitas doang supaya nggak dikejar-kejar debtcollector dan pencairan asuransi kehilangan," terang Ismail, semangat menimpali slogan 'No Viral No Justice' yang dilontarkan Syamsuddin.
Menurut Ismail terus bercerita, tidak banyak yang diperbuat polisi untuk menanggapi masalah yang dideranya. "Ya gimana, polisi bilang pasrah aja. Percuma dicari juga susah," kata Ismail lagi sambil mengenang kisahnya. Ismail pun terus bercerita. Ia tak mau menyerah begitu saja dengan motornya yang hilang. Meski baru nyicil 5 bulan, ia merasa sudah kehilangan uang.
"Nah, kebetulan rumah tetangga ada CCTV, langsung aja saya minta rekaman CCTV keberadaan pelaku," tambah Ismail. Dari rekaman itu, ia jadikan modal untuk mencari sendiri motor Honda Beat hitam yang dicuri 2 komplotan maling di pagi hari.
"Videonya saya minta. Saya edit dan zoom plat nomor pelaku pencurian. Di situ terlihat jelas wajah pelaku dan nomor kendaraan yang mereka pakai saat beraksi," ujarnya. Kemudian ia kembali mendatangi Polsek tempatnya melaporkan diri saat kehilang. Lagi-lagi Ismail kecewa.
"Polisi cuma bilang susah itu. Susah ketemunya. Ikhlasin aja, nanti juga diganti sama yang baru," kisah Ismail menirukan petugas kepolisian saat menanggapi rekaman CCTV yang diperlihatkan kepada petugas. Seharusnya, kata Ismail, dari rekaman itu saja polisi bisa menelusuri identitas pelaku pencurian.
Sebulan pun berlalu. Motor tak juga ketemu. Tiba-tiba, muncul pesan berantai di hapenya di sebuah grup whatsapp. Pesan itu berbunyi pengumuman bagi warga yang kehilangan kendaraannya untuk mengambil di sebuah Polres. Rupanya aparat kepolisian berhasil menyita banyak kendaraan, baik roda dua dan roda empat.
"Ternyata rezeki gak kemana, dari list kendaraan yang berhasil disita, ada motor Beat saya," katanya.
Alih-alih dengan mudah mendapatkan motornya, Ismail diminta uang 2 juta rupiah agar motor miliknya kembali oleh oknum. Alasannya untuk mencari motor itu pakai biaya sendiri. "Harus ditebus 2 juta. Tapi ini juga harus pihak leasing yang mengambil," kata si petugas.
"Saking kesalnya, saya ngomong, saya udah usaha sendiri mencari, saya disuruh bayar, ya udah lah saya viralin aja lah. Rupanya petugas itu paham, dan nggak jadi meminta setoran. Sama orang leasing akhirnya motor itu diambil," tutup Ismail.
Kisah ini sudah layaknya menjadi pembelajaran bagi aparat hukum agar tidak memilih dan memilah sebuah laporan korban kejahatan. Sejatinya, namanya laporan kriminal di masyarakat harus direspon oleh aparat agar tak menjadi preseden buruk ke depan.
Jadi tidak ada lagi semboyan 'No Viral No Justice.' Apalagi semboyan itu muncul sebagai bentuk kekecewaan publik terhadap kinerja aparat. Memang tidak semua. Biasanya seperti itu cuma oknum.(Kurniawan)