ADVERTISEMENT

Kebijakan, Bukan “Akal – Akalan”

Kamis, 8 September 2022 06:13 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

“Kebijakan tidak mengakar, apalagi asal – asalan akan berujung kepada pemanfaatan hasil oleh sekelompok orang. Menjadikan sebagian penduduk tersingkirkan, terpinggirkan dan dirugikan.” – Harmoko 

 

Kurang beras, impor. Kurang garam pun impor. Tidak punya modal, pinjam. Tidak punya uang, ngutang. Harga bahan baku mahal, segera menaikkan harga jual barang (produk). Ini upaya nyata mencari gampangnya saja dengan menyelesaikan sesuatu secara cepat, karena mudah didapat, meski belum tentu akurat. Inilah gambaran kebijakan instan yang hanya menyelesaikan masalah di permukaannya saja, tidak secara mendasar dan keseluruhan, apalagi dalam jangka panjang.

Yang menanggung akibatnya adalah penerima kebijakan, dalam hal ini rakyat. Bukan pejabat yang menggulirkan kebijakan. Boleh jadi, diuntungkan, setidaknya tidak susah – susah berpikir panjang memberi harapan.

Mengimpor beraneka ragam pangan, bagian kebijakan instan dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Sementara kita tahu pengadaan pangan dalam negeri mestinya dapat terpenuhi, jika memiliki kemampuan membangun kemandirian.

Selama belum adanya kemandirian, impor pangan bagaikan candu, yang setiap saat akan dihisap dimana perlu. Begitu juga sebelum adanya kemandirian ekonomi, kebijakan instan di bidang ekonomi akan terus terjadi.

Yang belakangan ini sedang menuai banyak kritikan adalah kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi (Pertalite dan solar bersubsidi), di tengah gelagat menurunnya harga minyak mentah dunia di bawah US$ 100 per barel.

Niat hati memangkas subsidi orang kaya, yang terjadi kemudian menambah derita rakyat miskin. Tidak saja jauh dari subsidi BBM, juga efek domino kenaikan yang harus ditanggung secara bersamaan akibat kenaikan tarif angkutan, harga barang dan jasa. Belum lagi harga sembako.

Dengan kenaikan harga Pertalite, rakyat miskin akan mengurangi pembelian menyusul melemahnya daya beli, yang berarti semakin berkurang menikmati subsidi BBM. Sementara orang kaya, tetap akan membeli Pertalite meski harga naik, karena kebutuhan dan memiliki kemampuan.

Yang terjadi, semakin besar orang kaya yang akan menikmati BBM bersubsidi, ketimbang rakyat miskin. Kesenjangan yang diharapkan menyempit, bisa jadi kian melebar. Kalkulasi ini bukan merujuk kepada teori ekonomi, tetapi logika rakyat penerima dampak.

Halaman

ADVERTISEMENT

Editor: Deny Zainuddin
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT