ADVERTISEMENT

Kangen Tangisan Ibu Saat Pemerintah Naikkan Harga BBM

Senin, 5 September 2022 06:30 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

RAKYAT kembali meradang. Presiden Jokowi kembali menaikkan harga BBM. Di saat daya beli masyarakat sedang menurun.  Perekonomian masyarakat sedang melemah. Seperti pepatah; sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Kenaikan harga BBM, sudah pasti akan berimbas pada kenaikan harga barang pokok lainnya. Karena, ongkos transportasinya juga akan naik. Sehingga mau tak mau, pedagang juga akan menaikkan harga dagangannya.

Pemerintah, sepertinya, sudah tak peka lagi dengan kondisi rakyat. Partai penguasa pun tak lagi pro-rakyat. PDI Perjuangan, sebagai pengusung utama Presiden Jokowi, membiarkan pemerintah menaikkan harga Pertalite, Solar, dan Pertamax.

Rakyat merasa kangen dengan sikap petinggi PDI Perjuangan saat tak berkuasa. Dulu, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menaikkan harga BBM, Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani, dan sejumlah petinggi PDIP, menangis bercucuran air mata.

Mega terlihat amat sedih. Mega menyebut, kebijakan pemerintahan SBY menaikkan harga BBM membuat wong cilik semakin menderita.

Kala itu, sejumlah politisi PDI Perjuangan juga ikut turun ke jalan. Mereka ikut unjukrasa menolak kenaikan BBM. Mereka terdepan membela wong cilik. Mereka seakan merasakan perihnya perut wong cilik.

Namun kini, mereka sepertinya sudah lupa rasa itu. Mungkin karena sudah dua periode berkuasa, sehingga lupa rasanya jadi wong cilik. Tak ada lagi tangis dan demo ke jalan. Suara lantangnya tak lagi terdengar. Rakyat kangen tangisan Ibu Mega, Ibu Puan, dan ibu Pertiwi, saat harga BBM naik lagi.

Wajar, masyarakat menanyakan di mana Megawati, Puan, dan petinggi PDIP kini? Saat Presiden Jokowi kembali menaikkan harga BBM, kenapa mereka semua diam. Mana air mata yang dulu meleleh menentang kenaikan harga BBM? Apakah air mata yang dulu menetes itu adalah air mata politis? Air mata buaya?

Kini, masyarakat bisa menilai sendiri. Mana yang benar-benar membela rakyat kecil, dan mana yang menjadikan rakyat kecil hanya komoditas politik. Penilaian masyarakat itu akan direalisasikan pada Pemilu 2024.

Memang, Pemilu masih dua tahun lagi. Semoga rakyat Indonesia tidak mengidap amnesia. Apalagi pura-pura lupa hanya karena selembar uang kertas bergambar Soekarno-Hatta. (gusmif)

Halaman

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT