Oleh : Wartawan Poskota: Trias Haprimita Asmaraningrum
Banyak kejadian di tanah air yang setiap hari kian bikin miris. Bahkan rentetan kejadian itu terus berulang hingga meluas. Ramai lagi perpeloncoan di kalangan mahasiswa baru yang mulai mengikuti ospek, perundungan di sekolah, pelecehan seksual, hingga tragedi ngeri melibatkan aparat kepolisian.
Bahkan yang terlihat itu sebenarnya tak seberapa, karena kejadian yang belum sempat terlihat pasti masih banyak dan bisa jadi sangat berbahaya.
Terbaru, Kejagung berhasil menahan salah seorang taipan terkaya di Indonesia, Surya Darmadi alias Apeng atas kasus dugaan penyerobotan lahan sawit di Riau. Tak tanggung-tanggung, akibat perbuatannya, Surya Darmadi merugikan negara hingga Rp78 triliun.
Alih-alih mendorong efek jera bagi pelaku korupsi, pemerintah justru kian melemahkan penegakannya melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Mirisnya lagi, pembentuk UU tak memasukkan klausula pasal antikorupsi dalam 14 isu krusial sehingga draft yang ada berpotensi mendegradasi upaya pemberantasan korupsi.
Sejumlah hal dipersoalkan berkaitan dengan pemberantasan korupsi di antaranya, hukuman bagi koruptor dikurangi. Seperti pada Pasal 607 RKUHP, yang sebelumnya Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dimana hukuman pidana badan yang seharusnya 4 tahun, dipangkas menjadi 2 tahun dengan denda minimal 200 juta dikurangi menjadi hanya 10 juta.
Kemudian, ada Pasal 610 ayat (2) RKUHP, sebelumnya Pasal 11 UU Tipikor. Penerima suap yang awalnya diganjar 5 tahun penjara dikurangi menjadi 4 tahun serta denda semula 250 juta menjadi 200 juta.
Selain itu, dalam draft RKUHP, korupsi tidak lagi termasuk kejahatan luar biasa. Ini sungguh ironi, sebab dalam banyak literatur ditegaskan bahwa korupsi masuk kategori kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Beberapa pasal di atas baru sebagian yang perlu disoroti dan dikritisi. Sebab ada pasal yang juga rawan disalahtafsirkan oleh aparat penegak hukum hingga berpotensi membungkam kritik terhadap penguasa, di antaranya Pasal 218 RKUHP tentang kritik kepada Presiden dan Wakil Presiden. Lalu, Pasal 240 RKUHP yang menyatakan seseorang bisa diancam pidana penjara 3 tahun jika menghina pemerintah di media sosial. Tak heran tagar #SEMUABISAKENA makin menggema di dunia maya.
Waduh jangan sampai draft RKUHP diundangkan diam-diam, setelah sebelumnya ada yang melakukan pengesahan UU tengah malam. Masih ingat kan?
Karena bisa runyam urusan kalau semua peraturan dibuat secara diam-diam, sembunyi-sembunyi padahal yang jadi subjek percobaan adalah rakyat sendiri. Dear pemerintah dan DPR, tolong dengar suara rakyatmu yang mulai berbondong-bondong minta dengan sopan agar RKUHP dibatalkan. Mending ngurusin rakyat yang butuh sembako murah, lapangan kerja, pendidikan hingga kesehatan layak. (*)