“Keadilan mudah diucapkan, tetapi sulit diwujudkan,” kata mas Bro kepada kedua sohibnya, Yudi dan Heri selagi maksi di warteg langganan.
“Sebenarnya tidak sesulit seperti dibayangkan,” ujar Heri.
“Lagian kenapa mesti dibayangkan.. Keadilan tidak untuk dibayangkan, tidak pula sebatas diucapkan, tetapi diwujudkan,” kata Yudi menimpali.
“Iya saya tahu. Tapi rasanya keadilan sosial masih jauh dari harapan. Sudah 77 tahun ini negeri ini merdeka,” kata Heri.
“Itu perasaan lo aja kali. Orang lain, mungkin saja sudah merasa adil diperlakukan dalam segala urusannya,” jawab Yudi.
“Perlakuan adil untuk semua orang, bukan bagi sekelompok orang karena memiliki kemampuan ataupun dekat dengan kekuasaan, “ kata mas Bro.
“Terima saja nasib kita orang nggak berpunya. Nggak boleh ngiri,” kata Yudi.
“Ini bukan soal ngiri.Nggak ikhlas, jika hak seseorang dirampas. Ada diskriminasi dalam perlakuan. Karena kolega diperlakukan secara adil, sementara karena orang jauh, dianggap tak berguna bagi dirinya, lantas diabaikan. Ini nggak boleh dibiarkan,” kata mas Bro.
“Sabar mas, monggo ngopi dulu,” kata Ayu Bahari, pemilik warteg sambil menyodorkan segelas kopi hitam kesukaan mas Bro.
“Loh kok aku nggak dikasih kopi, ini nggak adil,” protes Heri.
“Aku buatkan kopi kepada orang yang sedang membutuhkan. Kalau kasih kopi kepada mas yang tidak pesan, nggak butuh, malah nggak adil. Adanya iri,” jawab Ayu.”Kayak tetangga aku yang mampu malah dikasih sembako murah, sedangkan yang tidak mampu, sangat butuh, malah tidak disentuh.”