ADVERTISEMENT

Pejabat BPN Ditangkap Polisi karena Terlibat Kasus Sindikat Mafia Tanah, Pengamat: Ini Tanda dari Sistem Birokrasi Kita yang Korup

Rabu, 13 Juli 2022 23:39 WIB

Share
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisaksi, Trubus Rahadiansyah. (instagram/@trubus_r)
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisaksi, Trubus Rahadiansyah. (instagram/@trubus_r)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Ditreskrimum Polda Metro Jaya, berhasil meringkus seorang pejabat Badan Pertanahan Negara (BPN) wilayah Jakarta, yang diduga terlibat dalam sindikat kasus mafia tanah.

Adapun pejabat BPN tersebut, diketahui berinisial yang diringkus oleh polisi di wilayah Depok, Jawa Barat pada Selasa (12/7/2022) tadi malam.

Berdasarkan keterangan dari Kepolisian, PS ini diduga menerima sejumlah dana dari pihak pemohon untuk menerbitkan sertifikat, yang mana sertifikat tersebut termasuk dalam program ajudikasi PTSL yang sejatinya bebas biaya.

Bahkan, dari perbuatannya yang tentu telah melanggar hukum formil dan materil dalam rangkaian hukum yang diatur di Indonesia, baik secara SOP jabatan maupun aspek Hukum Pidana, telah mengakibatkan banyak pihak yang dirugikan.

Menanggapi hal tersebut, Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan, bahwa peristiwa penyelewengan oleh pejabat lembaga atau negara, bukanlah suatu hal yang baru terjadi di Indonesia ini.

Menurut Trubus, hal tersebut telah menjadi hal yang lumrah atau menjadi suatu budaya yang memalukan dan terus berkelakar seakan sulit untuk dihentikan.

"Karena kalau menurut saya penyebabnya itu, kalau memang sudah punya kuasa tetap seperti itu, misalnya rakus ya. Itu akibat persoalan kebijakan pengawasan dan penegakan hukum yang lemah selama ini kalau dilihat dari sisi itu," kata Trubus saat dihubungi Poskota.co.id Rabu (13/7/2022).

Namun, lanjut dia, lemahnya upaya pengawasan dan penegakan hukum tersebut, bersumber dari buruknya sistem birokrasi yang dibangun oleh pemerintah hingga saat ini.

"Tapi yang jelas, semuanya ini terjadi karena masalah sistem. Jadi birokrasi yang dibangun kita ini adalah sistem birokrasi yang korup, sehingga mereka ini mudah sekali untuk melakukan tindak pidana korupsi," ujar Trubus.

"Jadi sumber persoalnya itu tumbuh dari sistem birokrasi yang korup, yang disebabkan oleh lemahnya pengawasan dan upaya penegakan hukum terhadap pelaku," sambung dia.

Akademisi yang berkompetensi di bidang sosiologi hukum itu menambahkan, dalam praktik kotor ini, tentu ada suatu permainan balas budi yang dilakukan oleh pelaku (pejabat korup) dengan pihak yang ada di belakangnya atau yang menaunginya.

"Ini bisa kita lihat dari upaya ganti Menteri atau pejabat juga masih sama saja, mereka lakukan hal serupa. Karena apa? Karena kan mereka juga harus memberikan feedback kepada pihak yang membantunya memberikan atau memenangkan suatu jabatan. Itu tidak bisa kita pungkiri, itu kerap terjadi kan, makanya mereka cari 'sampingan' dengan cara korupsi atau sebagainya," papar Trubus.

Lebih lanjut, dia mengatakan, terkait dengan upaya penjatuhan hukuman kepada para pelaku. Hal tersebut juga akan sia-sia apabila upaya pengawasan dan sistem birokrasi yang ada tidak kunjung diperbaiki.

"Kalau hukuman mati pasti menuai pro kontra ya, apalagi dalam aspek Hak Asasi Manusia (HAM). Kemudian kalau dimiskinkan, itu memang pilihan terbaik, tapi kan sampai saat ini upaya tersebut masih belum berjalan optimal juga. Toh, banyak mantan koruptor yang ternyata masih memiliki secuil harta kekayaan usai dijatuhi hukuman pemiskinan," imbuhnya.

"Intinya, semua bersumber dari upaya pengawasan dan penegakan hukum yang lemah di pemerintahan kita," tandas Trubus. (adam)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT