ADVERTISEMENT

Tema: Membangun Kepekaan Sosial

Senin, 11 Juli 2022 06:08 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

“Kepekaan sosial harus dibangun dengan kesadaran dan keikhlasan, bukan keterpaksaan dan pencitraan. Dibangun atas dasar empati, bukan mencari simpati,” - Harmoko
 
Saling berbagi, membantu, tolong menolong adalah kewajiban bersama. Sikap semacam ini bukanlah ajakan, tetapi sebuah panduan membangun negeri sebagaimana jati diri bangsa yang telah terkristal secara jelas dan tegas dalam falsafah bangsa dan negara kita.

Di era sekarang ini, di tengah beragam ancaman krisis pangan, energi, ekonomi dan keuangan. Di tengah ketidakpastian situasi global, semakin dituntut solidaritas sosial dalam membangun negeri.

Diperlukan antisipasi lebih dini di segala lini, agar kita tidak terperosok ke dalam jurang lebih dalam, terombang – ambing dalam menyikapi situasi yang berdampak kepada kebijakan yang silih berganti, jika tidak disebut membingungkan.

Semakin dituntut kepekaan sosial dalam merespons keadaan, lebih – lebih para elit dan pejabat negeri, utamanya dalam merumuskan kebijakan. Dalam berucap, bersikap dan berbuat.

Kepekaan sosial sejatinya telah tertanam kuat dalam masyarakat kita. Sudah ada sejak dulu kala melalui kegiatan saling berbagi, tolong menolong yang telah diajarkan para leluhur kita. Kegiatan kemanusiaan inilah yang kemudian dikristalisasi oleh para pendiri negeri dalam falsafah bangsa sebagai pedoman hidup yang dilegalkan melalui Pancasila dan UUD  1945 serta sumber hukum lainnya.

Yang diperlukan sekarang adalah bagaimana mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari – hari. Semangat “holopis kuntul baris” sepertinya masih cukup aktual dan kontekstual dalam menyikapi kondisi saat ini.

Bung Karno pernah mengutip ungkapan tersebut untuk membakar semangat pemuda Indonesia bersatu padu mengisi kemerdekaan, membangun bangsa negara. Sebuah ajakan saling bahu membahu, tolong menolong mengatasi berbagai persoalan secara bersama – sama. “Holopis kuntul baris buat kepentingan bersama. Dari semua untuk semua..”

“Holopis kuntul baris” selaras dengan peribahasa Jawa “saiyeg saeka praya, bebarengan mrantasi gawe”- bekerja serentak dan bersama – sama menyelesaikan persoalan.
Kuntul menjadi simbol karena, konon, burung sawah ini bisa berbaris membentuk harmoni melambangkan guyub dan rukun. Menyelaraskan semua kepentingan, memantapkan soliditas dan solidaritas sosial dengan membangun kepekaan sosial guna memajukan bangsa agar terhindar dari beragam bencana, ancaman krisis. Mampu menghalau “tiga hantu besar”, yakni hantu inflasi, suku bunga tinggi dan kemandegan pertumbuhan ekonomi, yang terus menghantui dunia, termasuk negeri kita.

Ibarat burung kuntul, saatnya berbaris, duduk sejajar, berdiri setara, dan terbang tinggi menggapai cita - cita bersama. Tentu, dengan melepaskan atribut parpol mana, relawan siapa, kelompok mana, pendukung siapa dan dari mana. Patut juga dicatat, tidak pamrih. Tidak pula menonjolkan diri paling hebat dan kuat, paling berjasa, dan punya kuasa.

Kepekaan sosial harus dibangun dengan kesadaran dan keikhlasan, bukan keterpaksaan dan pencitraan. Dibangun atas dasar empati, bukan mencari simpati, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Halaman

ADVERTISEMENT

Editor: Deny Zainuddin
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT