ADVERTISEMENT

Koalisi vs Oposisi

Senin, 27 Juni 2022 06:18 WIB

Share

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

“Kehadiran oposisi untuk mencegah kolusi, monopoli, dan oligarki serta menutup rapat peluang korupsi, bukan merongrong kekuasaan yang dapat menghambat pembangunan..” - Harmoko
 
MENCERMATI dinamika politik belakangan ini, dapat diibaratkan jika tahun ini sebagai "lamaran", tahun depan "pertunangan", dan tahun 2024 adalah "pernikahan". Tak ubahnya lamaran, akan diwarnai dengan silaturahmi, saling berkunjung satu sama lain mempererat komunikasi, sekaligus menjajaki peluang lamaran bisa dilanjutkan.

Tahun depan resmi pertunangan dengan memperkenalkan pasangan kepada publik, akan diwarnai dengan deklarasi politik untuk memperkuat bangunan koalisi (besanan politik) berikut calon pasangan (capres – cawapres) yang akan duduk di pelaminan pada 14 Februari 2024.

Lantas bagaimana setelah acara pernikahan? Jawabnya tentu kelanggengan pasangan hingga kakek – ninen. Terbangun keluarga yang harmonis, bahagia dan sejahtera. Itu pula harapan pernikahan politik pasca pilpres.

Hanya saja, dalam politik, tak ada kelanggengan pasangan. Tak ada yang abadi. “Pisah ranjang” hingga berseberangan jalan karena beda kepentingan dan tujuan adalah kenyataan. Pecah koalisi, putus sambung adalah dinamika politik yang kerap mewarnai praktik demokrasi negeri ini.

Apakah salah? Jawabnya “tidak”. Adakah yang salah? Jawabnya “ada” karena hasil koalisi tidak sesuai ekspektasi. Pasangan tersingkir dari perhelatan karena terkalahkan dari pasangan lain yang lebih diterima publik.

Jika bangunan koalisi kuat, pendukung pasangan yang tereliminasi dapat tampil sebagai partai oposisi yang disegani. Hadir sebagai kekuatan penyeimbang. Check and balance mengawal pemerintahan yang baik, good goverment, pemerintah yang akan menjalankan semua janjinya, sesuai visi dan misinya demi memajukan bangsa dan negara. Guna mewujudkan kemakmuran, keadilan dan kesejahteraan sosial yang hingga kini terukir jelas dalam cita –cita, tapi masih jauh dari realita.

Koalisi dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang kuat dan hebat, tetapi oposisi tak kalah pentingnya guna mengawal jalannya
pemerintahan benar – benar berada di atas rel yang baik dan benar.

Baik bagi kemajuan bangsa , baik bagi rakyat secara keseluruhan, bukan rakyat konstituennya, bukan pula kelompok pendukungnya. Benar sebagaimana peraturan perundangan yang berlaku, bukan kebijakan yang diciptakan kemudian untuk menambah subur lingkaran koalisi. 

Bukan pula kebijakan yang memperkuat jalinan oligarki, terbentuknya kolusi dan pada gilirannya terbuka peluang korupsi.
Mafia pangan yang sulit dibasmi, satu indikasi terselubungnya kolusi, menguatnya oligarki, yang pada saatnya akan melahirkan peluang korupsi bagi mereka yang tidak sadar diri hingga “cidro janji” kepada rakyat akibat tak mampu menahan godaan.

Sementara pitutur luhur mengajarkan kepada kita semuanya, “Ojo ketungkul marang kadonyan lan kemareman” – Jangan sampai terobsesi untuk memperoleh kebendaan – harta benda dan kepuasan duniawi, apalagi dengan melanggar etika dan norma.

Halaman

ADVERTISEMENT

Editor: Deny Zainuddin
Sumber: -

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT