Ancaman Krisis Pangan Global

Kamis 23 Jun 2022, 08:00 WIB

Di balik tantangan tentu terdapat peluang. Begitu juga ancaman krisis pangan bisa dijadikan peluang ekonomi bernilai tinggi dengan mewujudkan kemandirian dan kedaulatan pangan - Harmoko

NGERI, krisis pangan, krisis energi dan krisis keuangan menghantui hampir seluruh negeri di dunia ini. Saat ini, dunia penuh ketidakpastian, dalam keadaan sulit, dalam keadaan yang tidak mudah. Itulah peringatan yang terungkap dari pejabat lembaga dunia seperti Bank Dunia dan IMF. Itu pula yang menjadi perhatian serius bagi sejumlah kepala negara, termasuk negeri kita.

Konon, sudah ada satu, dua negara yang tidak memiliki cadangan devisa, tidak bisa membeli BBM, tidak bisa membeli pangan, kemudian terjebak dengan utang luar negeri yang semakin meninggi.

Lantas bagaimana dengan negara kita? Jawabnya dapat kita saksikan bersama, bisa kita rasakan bersama berikut dampak yang menyertainya. Meski krisis pangan dan energi belum terjadi, tidak lantas duduk manis di belakang meja, tanpa aksi nyata. Mengingat kebutuhan pangan belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari dalam negeri. Sebagian masih impor, bahkan untuk komoditas pertanian, sementara negara kita dikenal sebagai negara agraris, penghasil bahan pangan mulai dari beras, sayur – mayur, buah –buahan, bumbu dapur hingga minyak sawit.

Sulit terbantahkan, negara kita belum swasembada pangan, masih jauh dari kemandirian dan kedaulatan pangan. Ini dapat ditengarai dari masih adanya impor pangan, kelangkaan barang, gejolak harga, tersendatnya pasokan dan lain sebagainya. Belum lagi keanekaragaman pangan lokal, pangan yang sehat dan aman dikonsumsi. Padahal alokasi anggaran ketahanan pangan di APBN tidaklah kecil sebesar Rp. 92.3 triliun, tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan.

Selama pengelolaan pangan masih dikuasai pihak tertentu, setidaknya campur "tangan" korporasi dan oligarki, pertanda belum adanya kemandirian pangan. Masih jauh dari kedaulatan.

Kata kunci mencegah krisis pangan bukan sebatas meraih swasembada, tetapi bagaimana membangun ketahanan pangan melalui kemandirian dan kedaulatan pangan. Sementara kemandirian pangan akan terwujud jika terdapat kemampuan negara dalam memproduksi pangan dalam negeri yang beragam, guna memenuhi kebutuhan pangan setiap warga negara. Dengan memanfaatkan potensi sumber daya lokal, baik alam, manusia, sosial, dan ekonominya sebagaimana dimaksud dalam UU No.18/2012 tentang Pangan.

Merujuk kepada itu, perlu strategi besar untuk mengatasi akar masalah pangan nasional. Sayangnya belakangan ini, upaya mewujudkan kemandirian pangan acap dipandang sebelah mata. Setiap ada gejolak pangan hanya diatasi secara instan, menyelesaikan bagian permukaannya saja, mengimpor atau operasi pasar misalnya, sementara bagian hulunya, penyebab utamanya terabaikan, kalau tidak disebut diabaikan karena adanya campur tangan pihak luar dalam pengelolaan pangan.

Saya meyakini selama masih adanya intervensi, kemandirian sulit terealisasi. Sepanjang masih adanya campur tangan dalam pengelolaan pangan, kemandirian makin jauh dari harapan.

Padahal pangan adalah harga mati, hidup matinya rakyat, tak ubahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Negara akan kuat, jika rakyatnya kuat, tidak kelaparan. Sejarah telah membuktikan, rakyat yang kelaparan akan lemah, dan terpecah belah seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.

Krisis pangan akan berimbas kepada krisis sosial, krisis ekonomi dan krisis politik. Beberapa negara pernah mengalaminya, Sri Lanka satu di antaranya.

Sejatinya ancaman krisis pangan bisa dijadikan peluang. Ini yang disebut di balik tantangan mencuat peluang. Indonesia sebagai negara agraris,  memiliki tanah yang luas, subur makmur, belum lagi 33,4 juta hektar lahan tidur, mestinya tidak sulit mewujudkan kemandirian pangan. Bahkan, bisa ekspor dengan nilai ekonomi tinggi.

Di sinilah perlunya keberanian para elite, para pemimpin negeri membangun kemandirian dan kedaulatan dalam mengelola pangan mulai dari produksi, distribusi hingga pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri maupun global. Bukan terjerat dalam permainan yang tak berujung pangkal.

Pitutur luhur mengajarkan agar para pemimpin harus berani mengambil tindakan demi keselamatan rakyatnya, jangan setengah - setengah meski rintangan menghadang, risiko diri mengitari.

“Yen wani aja wedi – wedi, yen wedi aja wani – wani “ Kalau berani jangan takut – takut, kalau takut jangan sok berani. Selain menuntut adanya keberanian, ketegasan, juga mempunyai prinsip kuat dalam mengambil tindakan. (Azisoko)

Berita Terkait
News Update