Kopi Pagi Harmoko: Bersahabat dengan Alam

Senin, 6 Juni 2022 05:52 WIB

Share

“Pemerintah harus memiliki keberanian menghentikan semua aktivitas yang dapat merusak lingkungan hidup. Penegakan hukum tanpa tebang pilih menjadi satu agenda mendesak.” - Harmoko
 
KONSEP pembangunan berkelanjutan seolah jelas dan tegas di atas kertas, tetapi lemah dalam pelaksanaan. Optimis dalam harapan, boleh jadi pesimis dalam kenyataan. Pembangunan berkelanjutan yang sejatinya mengajak kepada kita untuk senantiasa "bersahabat dengan alam”, namun tak jarang pada praktiknya merusak alam sekitar.

Fakta sulit dipungkiri bahwa negeri kita sudah berada dalam darurat ekologis. Bencana yang terjadi dipicu oleh kerusakan alam yang semakin masif. Sayangnya curah hujan yang tinggi dan anomali cuaca, sering kali dituding sebagai penyebab bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, sementara  kekeringan, kebakaran hutan dan lahan adalah akibat cuaca ekstrem.

Sebenarnya, bencana hidrometeorologis seperti itu dapat dimitigasi jauh hari sebelumnya, jika ada kemauan politik, baik pemerintah pusat, pemda dan pihak terkait. Sebut saja daerah yang selama ini aman, tiba-tiba terjadi banjir bandang dan tanah longsor seperti di Kalimantan Selatan 9 Januari tahun lalu yang melumpuhkan 10 kabupaten, merenggut 15 korban jiwa, belum lagi ratusan ribu orang terdampak sosial dan ekonomi.

Jika kerusakan alam (lingkungan) sebagai penyebab bencana, tentu perlu ada langkah konkret bagaimana menjaga alam tetap terawat dengan baik, tanpa dirusak oleh pembangunan dan keserakahan manusia yang mengeksploitasinya semena–mena demi kepentingan bisnisnya.

Di sisi lain, dunia sudah memberi “kode merah” kepada manusia terkait bencana iklim, di mana bumi semakin panas yang akan membahayakan kehidupan, jika tidak segera dilakukan gerakan mengatasinya. Tidak ada waktu untuk penundaan dan tidak ada ruang untuk alasan seperti dikatakan Sekjen PBB, Antonio Guterres, 9 Agustus tahun 2021, usai menerima laporan dari Panel Antarpemerintah untuk perubahan iklim – Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

Bagi negeri kita, peduli lingkungan lewat aksi nyata “bersahabat dengan alam” hendaknya menjadi gerakan massal, bukan legalitas formal dengan banyak mengeluarkan kebijakan, tetapi sedikit dalam pelaksanaan. Kaya dengan retorika, tetapi miskin dalam fakta. Aksi nyata “bersahabat dengan alam” akan menjadi barang langka, jika masih terdapat pembiaran perusakan lingkungan yang terjadi di depan mata, jika tidak disebut tutup mata.
Apapun alasannya, pembangunan harus tetap bersahabat dengan lingkungan.

Negara harus dapat mengelola sumber daya alam dengan baik sehingga dapat dipergunakan pada masa yang akan datang. Ketika, misalnya, hutan dirusak dan dikuasai oleh korporasi, selain akan memperparah laju pemanasan global, dapat memperpanjang rantai konflik di daerah, kalau pemerintah (pusat dan daerah) tidak mengindahkan hak–hak masyarakat adat.

Hal ini patut menjadi kajian, mengingat sekitar 50 juta masyarakat adat tinggal dan menggantungkan hidupnya dari hutan. Sementara itu, pengalihan fungsi hutan menjadi wilayah industri ekstraktif seperti perkebunan, properti, pertanian, tambang dan infrastruktur terus berlanjut. Data menyebutkan, setiap tahunnya Indonesia kehilangan sekitar 680 ribu hektar akibat pembalakan liar, kebakaran hutan, perambahan hutan dan alih fungsi hutan.

Bersahabat dengan alam melalui kebijakan yang selaras antara pengembangan industri ekstraktif seperti perkebunan sawit dengan menghitung daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, bukan malah merusak hutannya – alamnya, juga manusianya.

Meski komoditas perkebunan menjadi andalan bagi pendapatan nasional dan devisa negara, di mana total ekspor hampir Rp400 triliun setiap tahunnya, tetapi kelestarian lingkungan tetap harus menjadi yang utama, bagi kelangsungan generasi berikutnya. Ada momen dimana memberikan karpet merah kepada kapitalisme, di sisi lain mengalungkan bunga kepada masyarakat adat.

Halaman
Editor: Deny Zainuddin
Sumber: -
Komentar
limit 500 karakter
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
0 Komentar