Jenghis Khan

Minggu 17 Apr 2022, 07:10 WIB

Dengan prinsip yang dipegang Jenghis Khan tersebut, Sukarno merefleksikan secara kritis bahwa tanpa pengetahuan geopolitik negerinya, tanah airnya, bangsanya, bagaimana suatu bangsa bisa mengetahui apa yang akan dipertahankannya? Suatu pertanyaan yang sederhana namun menggugah kesadaran bersama bahwa pertahanan itu cakupannya sangat luas, menyentuh seluruh aspek kehidupan.

Pertahanan dalam pemahaman geopolitik berkaitan dengan konstelasi geografis, politik, ekonomi, budaya, dan memahami bagaimana sejarah dunia juga dibentuk oleh pertarungan hegemoni atas berbagai teori geopolitik Barat yang ekspansionis. Dari belajar geopolitik, terlebih setelah mengetahui bagaimana kerusakan peradaban akibat perang, Sukarno mengusulkan pandangan geopolitiknya yang mengedepankan nilai kemanusiaan, koeksistensi damai, anti kolonialisme dan imperialisme, serta suatu tatanan dunia baru dimana dunia akan damai apabila terbebas dari berbagai bentuk penjajahan.

Demi tugas mulia ini, indonesia harus membangun kekuatan pertahanan yang disegani sehingga “Indonesialah penjaga satu-satunya daripada perlalu-lintasan di Samudera Pasifik, Samudera India, dan Australia”. Pernyataan itu disampaikan oleh Bung Karno dengan gamblang pada saat Kuliah Umum Presiden Sukarno pada Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas), tanggal 31 Mei 1965.

Karena itulah Lemhannas, yang sekarang menjadi Lembaga Ketahanan Nasional, dirancang untuk menggembleng calon-calon pemimpin bangsa, baik dari kalangan sipil maupun militer, dari pusat maupun daerah, dan pendeknya seluruh calon pemimpin bangsa dengan berbagai disiplin ilmu untuk digembleng bersama dengan kesadaran geopolitik. Dalam pelaksanaannya di masa Orde Baru, Lemhannas dijauhkan dari spirit pendirinya Bung Karno.

Dengan pertarungan geopolitik yang kini semakin kompleks, Lemhannas harus merubah dirinya. Ia bukanlah sekedar lembaga yang memberikan sertifikat kepemimpinan. Ia harus menjadi think tank guna menjabarkan seluruh pemikiran, semangat, ide, gagasan dan imajinasi geopolitik Bung Karno pendirinya. Gagasan ini sangat relevan, mengingat dunia saat ini dihadapkan pada berbagai persoalan geopolitik.

Yang paling nyata adalah Perang Rusia-Ukraina. Di luar perang itu, dunia masih menyisakan pekerjaan rumah serius terkait persoalan Afghanistan, krisis di Timur Tengah, ketegangan di Korea, dan juga potensi konflik di Laut Tiongkok Selatan.
Dengan berbagai pertarungan hegemoni tersebut, Indonesia tidak boleh ketinggalan langkah.

Keseluruhan persepektif di dalam membangun kekuatan ketahanan nasional, dan pertahanan negara harus dilakukan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut guna menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.

Guna mencapai tujuan strategis tersebut, maka sudah saatnya Indonesia mengembangkan kemampuan pertahanannya dengan menerapkan berbagai instrumen national power yang bisa digunakan untuk menunjukkan jati dirinya sebagai bangsa besar. Penggunaan instrumen national power itulah yang nampaknya jarang dilakukan.

Negosiasi FIR (Flight Information Region) antara Indonesia dan Singapura misalnya, belum secara maksimum me-leverage instrumen demografi, teritorial, teknologi, dan berbagai aspek lainnya.

Kekuatan nasional dalam keunggulan komoditas juga belum disimulasikan daya efektifnya sebagai instrument of national power. Sebab kekuatan Indonesia sebenarnya sangat luar biasa. Indonesia tercatat sebagai produsen Kelapa Sawit terbesar di dunia; Karet no. 2 di dunia; Kakao no. 3 di dunia; Kopi no. 4 di dunia; dan Tembakau no. 5 di dunia.

Belum kekuatan sumber daya yang lain. Demikian halnya kekuatan teritorial. Indonesia memiliki 4 Choke Points, suatu jalur sempit yang sangat strategis dalam perdagangan dunia, yakni Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Makasar. 

Simulasi berbagai instrument of national power sangatlah penting bagi kepemimpinan Indonesia. Tanpanya, Indonesia dianggap tidak memiliki kekuatan dan begitu mudah dilecehkan dalam urusan kedaulatan politik, budaya, dan militer. Apa yang dilakukan oleh Malaysia untuk mempatenkan beragam kebudayaan Nusantara seperti Reog Ponorogo misalnya, jika dilihat sebagai kritik-otokritik, nampak adanya kelemahan di pihak Indonesia karena kurangnya sense of belonging atas kekayaan budaya sendiri. Untung persoalan ini segera tuntas setelah melalui berbagai bentuk keberatan. Demikian halnya berbagai pelanggaran kedaulatan negara baik di udara maupun laut, seharusnya sama sekali tidak bisa dibenarkan.

News Update