"Semua serba tidak jelas, dan disini perlu Kemendagri, Kejaksaan, Kepolisian dan KPK untuk memperjelas," katanya.
Gilbert menilai, pemindahan tangan proyek Formula yang sebelumnya dipegang oleh Dispora ke PT Jakpro, makin memperkeruh proses penganggaran balapan mobil listrik tersebut.
"Dengan ada di BUMD maka Inspektorat tidak bisa memeriksa, DPRD tidak bisa masuk ke detail, dan lain-lain. Niat memindahkan ini harus dipertanyakan aparat hukum untuk menggali hal yang ganjil ini," pungkas Gilbert.
Sementara Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, mengatakan, pemanggilan Ketua DPRD DKI oleh KPK merupakan hal yang biasa. Menurutnya, meski sudah dua kali dipanggil KPK hal itu hanya sebatas diskusi terkait perencanaan anggaran Formul E.
"Jadi saya kira tidak ada yg luar biasa kalau ketua DPRD dipanggil ke KPK, Mabes Polri, Kejaksaan, itukan salah satunya pihak aparat ingin mengetahui pola, mekanisme, SOP, aturan, ketentuan, tahapan-tahapan proses penganggaran program kerja dan sebagainya, saya kira biasa saja yah," ujarnya.
Sementara, Juru bicara Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Sigit Widodo, mengatakan, sejak awal perencanaan Formula E, tuyul-tuyul anggaran sudah berkeliaran. Ia kaget ketika Formula E yang sebelumnya tak ada di RPJMD, tiba-tiba bisa masuk APBD-P 2019.
“Ajaibnya lagi, Gubernur Anies sudah memutuskan untuk berutang Rp180 miliar dan membayar commitment fee sebesar Rp560 miliar sebelum APBD-P itu disahkan,“ ungkap Sigit.
menurutnya, keanehan anggaran terus berlanjut sepanjang perencanaan Formula E. Ketika DPRD DKI Jakarta menolak membiayai lagi Formula E, Pemprov DKI yang tadinya meminta Rp2,3 triliun untuk commitment fee 5 tahun tiba-tiba menurunkan jadi Rp560 miliar. Angka tersebut sama nominalnya dengan jumlah yang diakui sudah ditransfer untuk commitment fee.
Kemudian, saat sirkuit Formula E akan dibangun di kawasan Ancol, Jakarta Utara, tiba-tiba PT. Jakpro mengaku sudah melaksanakan tender untuk pembangunan sirkuit.
“Seketika muncul nama PT Jaya Konstruksi Manggala Pratama sebagai pemenang tender, padahal di web e-procurement Jakpro hanya disebutkan terjadinya gagal tender,” kata Sigit.
Keanehan terakhir, masih menurut Sigit, terjadi saat pelaksanaan pembangunan sirkuit. Biaya yang sebelumnya hanya Rp50 miliar untuk pembuatan lintasan sirkuit, tiba-tiba dinaikkan jadi Rp60 miliar.
"Padahal kontraktor sudah menghemat biaya dengan mengganti bahan lapisan bawah lintasan dari besi menjadi bambu,” ujar Sigit heran. (yono)