AMERIKA SERIKAT, POSKOTA - Penelitian terbaru menemukan bahwa individu yang memiliki ciri-ciri kepribadian gelap, seperti narsisme masih dapat mempertahankan empati kognitif dan afektif tingkat tinggi. Studi yang baru ini diterbitkan dalam “Personality and Individual Differences”, mengidentifikasi tipe orang ini sebagai ‘empati gelap’, dikutip dari New York Post, Selasa (22/3/2022).
Empati dapat dibedakan menjadi tiga kategori. Pertama yaitu kognitif yang menggambarkan pemahaman intelektual perasaan orang lain tanpa merasakannya.
Kedua ada afektif yang dapat merasakan emosi orang lain sebagai milik diri sendiri.
Ketiga compassionate, yaitu kombinasi empati kognitif dan afektif.
Individu dianggap memiliki empati gelap ketika mereka memiliki empat kognitif atau afektif serta karakteristik dari dark triad merupakan istilah untuk tiga ciri kepribadian gelap yaitu, machiavellianisme, psikopa’, dan narsisme.
Para peneliti menemukan bahwa mereka yang memiliki karakteristik lebih gelap sering dikaitkan dengan kurangnya rasa empati.
Data terbaru yang dikumpulkan para peneliti dari sekelompok 1000 individu menunjukan kehadiran yang kuat untuk kelompok empati gelap.
“Kelompok empati gelap memiliki skor lebih tinggi pada sifat gelap dan empati (sekitar 20 persen dari jumlah sampel)”, ujar penulis penelitian yang tidak disebutkan namanya, dikutip dari New York Post, Selasa (22/3/2022).
Peneliti juga menemukan bahwa empati gelap lebih agresif secara tidak langsung daripada individu tipikal afektif dan empati.
“Ini masuk akal, untuk memanipulasi orang lain demi keuntungan diri sendiri atau memang menikmati penderitaan orang lain, individu harus memiliki beberapa kapasitas untuk memahami mereka”, jelasnya.
Temuan baru ini menjelaskan mereka yang memiliki sifat empati gelap memaksa psikologi klinis untuk melihat empati orang lain dengan cara baru.
“Empati gelap sebenarnya lebih berbahaya dan tidak berperasaan karena sifat ini dapat menarik orang lain lebih dekat dan akibatnya berbahaya. Semakin dekat dengan seseorang, mereka bisa menyakiti orang lain”, tutup keterangan Ramani Durvasula, seorang Psikologi Klinis.