“Panic buying yang dilakukan Rumah Tangga atau pelaku UMKM meningkatkan stok minyak goreng, sebagai respon terhadap belum adanya jaminan ketersediaan minyak goreng, terlebih lagi menghadapi puasa dan hari raya,” kata Yeka.
Keempat, munculnya spekulan yang memanfaatkan kondisi disparitas harga yang sangat besar antara harga eceran tertinggi (HET) dengan harga di pasar tradisional yang sulit untuk diintervensi.
"Aktifitas spekulan ini juga yang memunculkan dugaan terjadinya penyelundupan minyak goreng," kata Yeka.
Kelima, Ombudsman menduga kelangkaan minyak goreng diduga terjadi karena gagalnya fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan.
Menurut Yeka, Fungsi pengawasan tidak akan berhasil diterapkan ketika disparitas harga terjadi dengan gap yang sangat besar.
Melihat kondisi kelangkaan pada minyak goreng, Ombudsman memberikan rekomendasi agar kelangkaan minyak tersebut dapat teratasi dengan menghilangkan disparitas harga DPO, HET, dan harga pasar.
Sebagai gantinya, kata Yeka, dengan cara melepaskan harga kembali ke mekanisme pasar.
Meskipun melepaskan harga pada mekanisme pasar, kata Yeka, tetap memberlakukan domestic market obligation (DMO).
Hal tersebut guna menjamin ketersediaan minyak goreng.
Selain itu, mengusul pemerintah agar mencabut harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng yang saat ini untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium masing-masing seharga Rp13 ribu/liter dan Rp14 ribu/liter.
Namun, Yeka meminta pemerintah masih tetap memberlakukan HET hanya untuk minyak goreng curah yang dengan seharga Rp11 ribu/liter.
Hal tersebut agar masyarakat memengah kebawah hingga pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) masih mendapatkan minyak goreng dengan harga tersebut.