Dari dunia wayang, tampillah kematangan falsafah kebudayaan nusantara. Hal ini nampak dari hukum kebenaran yang selalu ditampilkan, bahwa siapapun sosok satria yang menegakkan kebenaran, ia akan didampingi oleh para punakawan, Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Para punakawan inilah yang mengawal para satria dalam jalan kebenaran, agar perjuangan tidak kehilangan dari ruh kerakyatan, ruh kebenaran itu.
Dari kisah para punakawan, dan tugas para kesatria pembela kebenaran, Bung Karno dibangunkan kesadarannya sejak kecil dengan belajar dan mencari tentang apa makna sesungguhnya di balik keseluruhan narasi kepahlawanan yang ditampilkan dalam cerita wayang. Dari pengasuhnya Sarinah, dan melalui sosok Petani Pak Marhaen, Bung Karno merasakan makna kehadiran para punakawan yang telah memberikan arah perjuangannya.
Pak Marhaenlah yang memacu kontemplasi ideologis di dalam merumuskan falsafah apa yang paling tepat guna dijadikan landasan Indonesia Merdeka. Pak Marhaen menggugah kesadaran Bung Karno tentang nasib rakyat kecil, kaum Marhaen, Wong Cilik, yang menderita hidupnya akibat tata pergaulan hidup yang menghisap yakni kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme.
Dalam kesadarannya itu, Bung Karno sangat memahami bahwa setiap satria akan selamat jika menyatu dengan para punakawan. Wayang dengan demikian memiliki perspektif ideologis tentang rasa cinta pada tanah air; semangat bela negara; menegakkan kebenaran dan persatuan dengan rakyat.
Wayang juga menampilkan peran pemimpin dalam kehidupan demokrasi yang berdasarkan pada permusyawaratan dimana tugas pemimpin adalah memberikan arah dengan mengedepankan hikmat kebijaksanaan.

Ilustrasi. (arif)
Di luar itu wayang juga memiliki dimensi kebudayaan yang sangat kuat. Tidak bisa dipungkiri bahwa untuk menjadi Dalang, seseorang harus menguasai narasi, memahami falsafah, serta mengasah ketrampilan untuk menjadi narator, namun juga didukung oleh kemampuan melantunkan tembang, seni olah suara, serta mampu menghafalkan seluruh khasanah lagu pengiring wayang yang diiringi dengan gamelan.
Gamelan menyampaikan pesan tentang keharmonian dalam aneka alat musik yang berpadu menyatu dalam satu orkestrasi. Pada saat bersamaan, wayang juga menampilkan hiburan serta tampilan para sinden yang menampilkan aneka irama lagu.
Wayang juga menampilkan pesan aktual yang disampaikan Ki Dalang terhadap berbagai persoalan sosial kemasyarakatan, dan bahkan politik. Apa yang terjadi dalam dinamika politik nasional juga ditampilkan dalam wayang.
Demikian halnya manuver politik elite tentang penundaan pemilu yang berimplikasi luas terhadap perubahan kultur demokrasi yang dibangun melalui mekanisme lima tahunan pasti akan menginspirasi Ki Dalang. Perubahan mendasar penundaan pemilu, mengingat implikasinya yang sangat luas, dapat dianalogikan pada cerita Sastra Jendra di atas.
Penundaan Pemilu bagaikan permintaan Prabu Danaraja yang ingin mendapatkan Dewi Sukesi. Terlebih Dewi Sukesi merupakan anak tunggal dari Prabu Somali dari Kerajaan Alengka. Jadi lengkap sudah perpaduan hasrat dan ambisi kekuasaan. Selain berimajinasi mendapat Sang Dewi yang rupawan, dalam logika kekuasaan akan didapatkan juga warisan kuasa dari Sang Prabu Somali kepada putri tunggalnya Dewi Sukesi.
Demi kekuasaan itu, berbagai rasionalisasi pun dilakukan. Klaim penggunaan big data sepertinya menjadi instrumen super canggih di dalam membaca kehendak rakyat. Big data bukan dipakai untuk mencari hubungan kausalitas mengapa harga minyak goreng melonjak drastis dan langka. Big data juga tidak dipakai untuk melihat bagaimana kapitalisme telah bekerja masif dalam sistem perekonomian Indonesia sehingga harga kebutuhan pokok naik lebih awal sebelum puasa dimulai.
Pembenaran alat analisa canggih big data untuk kepentingan kekuasaan bagaikan bujukan Dewi Sukesi agar Wisrawa mengupas tuntas ilmu Sastra Jendra sebagai manifestasi konsitusi, hukum dasar negara, yang seharusnya dihormati untuk dijalankan sebagai pranata kehidupan bersama.