BELAKANGAN beredar daftar 180 nama ustaz radikal oleh pihak tertentu. Entah siapa yang membuat dan mengedarkan, belum jelas, yang pasti daftar ustaz radikal ini acap menjadi pembicaraan di warung kopi pinggir jalan. Beragam komentar pun beredar, termasuk para konsumen warung tegal alias Warteg.
“Wah warung ibu sekarang menjadi radikal,” kata Yudi, konsumen.
Si ibu pemilik warung langsung protes. “Eh kalau ngomomg hati-hati ya. Warung dibilang radikal memangnya teroris.”
Yudi pun segera meminta maaf dan buru-buru menjelaskan. Radikal yang dimaksud ada perubahan mendasar. Kursi yang sebelumnya terlihat kusam dicat warna coklat cerah. Meja makan pun baru dikasih taplak merah kembang-kembang. Penataan menu terlihat lebih rapi dan luas. Daftar menu diganti yang baru, bukan lagi kertas ditempel di dinding, tetapi hasil print digital warna-warni.
Mendengar penjelasan Yudi, ibu pemilik warung tertawa. “Ibu takut kalau dibilang warteg radikal, nanti bisa-bisa ada yang mengadu, kami ditangkap.”
Yah, itulah istilah radikal yang sekarang berkembang ditafsirkan kelompok radikalisme, yang kemudian dikait-kaitkan dengan teroris. Ini salah kaprah, bener ora lumrah.
Padahal radikal beda dengan radikalisme dan terorisme. Radikal memiliki makna positif dan negatif. Maju dalam berpikir dan bertindak itu juga disebut radikal. Juga perubahan mendasar dalam perusahaan hingga kepada hal yang prinsip.
Lihat juga video “5 Museum Instagramable di Jakarta”. (youtube/poskota tv)
Tentu yang negatif, jika radikal dalam arti memaksakan kehendak dengan tindakan kekerasan, misalnya untuk mengganti Pancasila dan UUD 1945.
Yang keras bersuara, melakukan kritik tajam untuk perbaikan, bukanlah radikal dalam arti negatif.
Sayangnya sekarang pemahaman radikal cenderung bias. (jokles)