Harga Pangan Melejit, Klaim Surplus Kementan Dipertanyakan

Selasa 08 Mar 2022, 23:03 WIB
Suasana Pasar tradisional di kawasan Senen, Jakarta Pusat. (foto: yono/ist)

Suasana Pasar tradisional di kawasan Senen, Jakarta Pusat. (foto: yono/ist)

Ia melihat, upaya peningkatan produksi dalam negeri sendiri terutama oleh Kementerian Pertanian, baru sebatas retorika belaka. 

“Memang ada contohnya jika Kementerian Pertanian pernah berhasil? Segala macam program, hanya sekadar program semata. Kebijakan (wajib tanam) dan target swasembada bawang putih saja, gak jelas lagi hasilnya,” kata Dwi.

Kerentanan akan ketahanan pangan makin membesar, kata Dwi, dengan sejumlah peristiwa yang tak terprediksi dan di luar kemampuan pemerintah untuk mengontrolnya. Ia mencontohkan hal ini terjadi pada komoditas kedelai yang harganya tetiba melonjak karena turunnya produksi dunia. Ia menukas, dengan kurangnya produksi, maka harga kedelai, harga minyak nabati, seperti minyak sawit, juga ikut terkerek naik.

“Gandum, bawang putih hampir 100% impor, kedelai 97% impor, gula 70% impor, daging lebih dari 50% impor. Ketika harga dunia naik setelah pandemi, pasti kita akan kena imbas,” kata Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) tersebut. 

Idealnya, kata Dwi, kebutuhan pangan dalam negeri bisa dipenuhi oleh petani dalam negeri. Namun, lanjutnya, hal ini sangat sulit terjadi karena tingginya disparitas harga pangan produsi dalam negeri dengan produk impor. 

Ketidakberhasilan peningkatan produksi sendiri, kata Dwi, bisa dilihat dari data impor 8 komoditas pangan utama yang terus meningkat. Ia menyebut, pada tahu 2008, ada 8 juta ton komoditas pangan yang diimpor. Sepuluh tahun kemudian, volumenya melonjak mencapai 27,6 juta ton.

Sedikit menurun di tahun 2019 menjadi 25 juta ton, kemudian kembali meningkat menjadi 26 juta ton di 2020 dan naik lagi menjadi 27,7 juta ton di 2021. Selain meningkatnya permintaan, kenaikan impor pangan ini terjadi karena adanya disparitas harga komoditas pangan lokal dan impor. 

Lebih murahnya harga komoditas pangan dengan sejumlah insentif tarifnya, lanjut Dwi, membuat petani pun lama kelamaan enggan berproduksi. 

Akibat rendahnya produksi pangan, Peneliti INDEF Rusli Abdullah menyatakan, importasi pun mau tak mau jadi andalan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus meningkat. Sayangnya, importasi sendiri, menurut Rusli kerap dilakulan tanpa timing yang tepat. 

"Selama pandemi tidak ada timeline yang benar soal impor, justru dilakukan saat panen (dalam negeri) berlangsung," ujarnya.

Menurutnya, untuk melakukan impor dengan tepat, Kementan sudah seharusnya menyediakan data yang valid. Ia menegaskan, data yang valid dibutuhkan agar ketika impor dilakukan  tidak menggempur harga petani. 

"Kalau kita butuhnya 40, impornya 60, ya kasihan petaninya," kata Rusli. 

Berita Terkait
News Update