Oleh; Wartawan Poskota, Winoto
WAYANG sudah ditetapkan Unesco sebagai warisan dunia. Ini fakta, wayang sudah dimiliki seluruh dunia, karena Unesco adalah bagian dari badan dunia PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa).
Toh, di dalam negeri ternyata banyak yang menyikapi wayang dari segi yang tidak positif. Seperti ramainya polemik setelah pembicaraan pendakwah Khalid Basalamah yang menyinggung wayang dan hukum haram, lalu ada kata-kata dimusnahkan.
Paling tidak hampir dua minggu belakangan, masalah wayang tersebut masih menjadi polemik, bahkan makin melebar.
Seperti langkah Gus Miftah yang bereaksi dengan menggelar pertunjukan wayang, ternyata isi pertunjukan mendapat tanggapan negatif dari sebagian orang.
Reaksi-reaksi yang terlihat tentunya yang menonjol di media sosial, yang kemudian diangkat oleh berbagai media massa.
Dari berbagai pihak, biar adil, maka siapa pun yang memberikan pernyataan yang sifatnya tegas, seperti haram atau lebih baik dimusnahkan, harus dilatari pemikiran secara seimbang.
Perlunya bicara secara seimbang, ini bisa berbagai dimensi. Yang menyikapi juga perlu bicara secara simbang. Kita terbiasa ramai, bahkan bersifat radikal, ketika berbicara tentang wayang, misalnya kalau ada klaim dari negara lain, atau ada yang menyinggung-nyinggung wayang dengan hukum haram dan pernyataan perlu dimusnahkan.
Banyak yang bereaksi keras ketika wayang diperlakukan seperti itu, itu tentu saja sikap pembelaan yang tidak buruk.
Namun, masalahnya, orang-orang yang bicara keras, seperti di medsos, hanya biasa bereaksi seperti itu. Hanya ramai di medsos. Tidak disertai dari penyikapan dalam kehidupan sehari-hari untuk terus menghidupkan dan melestarikan wayang. Ini semacam otokritik.
Mereka jarang menonton pertunjukan wayang, mereka mungkin banyak yang sama sekali tidak menonton wayang, dan hanya dengar-dengar ada yang menggelar wayang. Isi, lakon, atau filosofinya tidak tahu.