Apalagi anggaran PEN tahun 2022 sudah turun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 744,77 triliun, masih dikurangi lagi untuk IKN.
Kalau dikatakan pemindahan IKN dengan membangun infrastruktur dasar sebagai bagian dari program PEN, itu sah – sah saja, tetapi yang hendak saya katakan, tetap saja akan membebani APBN.
Berubahnya skema pembiayaan, menyisir anggaran PEN untuk IKN, menjadi indikasi bahwa proyek yang sangat besar, tidak diimbangi dengan perencanaan yang matang. Seakan hanya mengandalkan "wisik". Belum lagi cepatnya pembahasan RUU IKN untuk menjadi UU IKN yang hanya memakan waktu 42 hari, terkesan mengejar target.
Ini tak sejalan dengan pernyataan pemerintah bahwa proyek IKN bukan semata kejar target, bukan asal jadi, bukan meniru cara Bandung Bondowoso.
Jika kemudian muncul kontroversi itulah sejatinya aspirasi. Aspirasi apapun bentuknya, dari manapun datangnya hendaknya disikapi secara bijak. Dengan memahami aspirasi, akan mengetahui secara persis apa yang sedang dan akan terjadi di negeri ini, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Yang perlu disikapi, jangan kemudian memposisikan bahwa yang mendukung setuju disebut “pro” yang tidak setuju dikatakan “anti” pemerintah. Jika stigma ini yang dibangun tak ubahnya membangun komunikasi kontradiksi, bukan harmonisasi, sebuah situasi yang sangat dibutuhkan sekarang ini.
Pitutur luhur mengajarkan “ojo grusa – grusu”, “ojo kesusu”, jangan gegabah, jangan terburu – buru karena perbuatan yang tergesa – gesa hasilnya tidak akan sempurna. Apalagi kalau “Mung mburu napsu” didasari atas kesenangan semata. (Azisoko*)