Aturan baku siapa pengambil keputusan untuk pindah IKN, memang belum kuat. Dulu bangsa ini pernah pindah IKN dua kali, yakni di zaman perjuangan.
IKN pernah pindah ke Yogjakarta, dan juga ke Bukittinggi, karena ada serangan penjajah Belanda. Saat itu jelas belum ada aturan siapa yang berhak memindahkan IKN. Rasanya, saat ini juga belum ada.
Itulah sebabnya, ketika Presiden Jokowi menyatakan ingin memindahkan IKN, tak ada argumen yang dilandaskan pada siapa yang bisa memutuskan memindahkan IKN.
Namun begitu, apakah keputusan harus dilakukan oleh Presiden sendirian? Sebab, kepindahan juga punya banyak aspek yang harus dibicarakan, harus banyak studi-studi kelayakan, dan bicara dengan publik, pun biaya yang begitu besar.
Pembahasan RUU yang terjadi bagi publik hanya sekedar mencari formalitas-formalitas untuk memenuhi ketentuan, karena seoleh dikejar target oleh Presiden.
Pemindahan IKN adalah membuat kota baru yang dikelola pemerintah dengan didelegasikan ke satu lembaga yang dibentuk dengan urusan sangat besar. Keinginan Presiden dengan cepatnya bisa dipenuhi jadi keputusan politik.
Nah, dalam hal ini bisa kita bandingkan dengan keinginan masyarakat yang ingin membentuk daerah otonomi baru, entah tingkat provinsi, kota atau kabupaten. Pada kenyataannya, ini sulit sekali direstui pemerintah.
Contoh seperti warga Sumbawa ingin ada provinsi Sumbawa, atau masyarakat Jonggol ingin membentuk Kabupaten Bogor Timur, atau warga yang ingin membentuk Kabupaten Bogor Barat, bertahun-tahun berjuang, tak ada hasilnya. Lain halnya dengan Presiden, hanya minta izin, langsung kesampaian.
Dari sisi ini, terlihat jauh kesenjangan dalam keputusan politik, usulan masyarakat yang bertahun-tahun susah terpenuhi, sedangkan usulan Presiden langsung jadi. Ini pula yang kiranya menyumbang gaduh IKN. Jadi, gaduh IKN ini karena juga kurangnya silaturahmi untuk membahas dengan rasa kebersamaan dan dari hati ke hati. (*)