Menurutnya, kecepatan pemain Indonesia dan Korea hampir sama. Yang membedakan adalah kekuatan (power), body balance, & endurance (daya tahan). Indonesia lemah di banyak sisi.
Dia juga melihat mental. Menurutnya, pemain Indonesia terlalu baik dan pasrah. Dalam sepakbola, kebaikan itu tidak berguna. Pemain harus siap bertarung habis-habisan.
Soal fisik itu dipengaruhi tiga hal yakni gaya hidup pemain, budaya, serta pola hidup. Pemain yang suka makan gorengan dan nasi jangan harap mendapatkan fisik yang prima. Untuk menjadi kuat dan berotot kata Lee butuh makan protein yang banyak.
Di level klub, pemain tidak mengonsumsi makanan bergizi. Tanpa banyak makan protein dan makanan bergizi, maka kebutuhan energi tidak akan cukup. Otot tidak bisa terbentuk. Padahal, sepakbola adalah olahraga fisik. Pemain harus siap berduel, siap main keras dengan kaki.
Kemampuan pemain kini terus membaik . Ini berkat disiplin ketat yang diterapkan oleh STY. Pemain diminta kurangi karbohidrat, perbanyak makan sayuran dan protein.
Pemain juga dilarang makan gorengan, sebab di makanan gorengan ada lemak trans yang tidak baik bagi tubuh. Idealnya pemain bola hanya memiliki persentase lemak tubuh sebesar 6-12 persen.
Shin Tae-yong juga tak segan-segan menjewer pemain yang kedapatan makan di luar yang disediakan pihak hotel. Shin Tae-yong pernah menjewer Rifat Marasabessy yang kedapatan makan di luar saat Timnas U-19 melakukan TC di Kroasia.
Apapun hasilnya melawan Thailand, kita patut bangga apa yang telah ditunjukkan Shin Tae-yong . Masyarakat sudah kadung suka dengan STY yang menyulap Timnas kini jadi beringas. Timnas telah menunjukkan motivasi yang tinggi, tak gampang menyerah, lapar akan kemenangan dan siap bertempur habis-habisan. (**)