“Pencitraan yang dikemas dengan kepalsuan, akan melahirkan popularitas semu” – Harmoko
DALAM dunia politik, pencitraan bukanlah hal yang baru dan tabu. Pencitraan merupakan fakta kehidupan yang tidak mungkin dihilangkan, bahkan senantiasa diciptakan.
Para elite politik, petinggi partai, tokoh masyarakat, bahkan pejabat negara pun sah–sah saja mengemas pencitraan untuk mendongkrak popularitas menaikkan elektabilitas.
Beragam pencitraan dilakukan dalam setiap momen dan kesempatan. Sudah terasa aromanya sejak tahun lalu, seiring dengan pandemi yang menerpa negeri kita ini dengan melakukan aksi peduli sosial.
Kemenangan atlet–atlet kita di Olimpiade Tokyo yang digelar di tengah pandemi tahun lalu, tak terlewatkan dari pencitraan para elite politik yang mengucapkan Selamat dan Sukses lewat sejumlah media, di antaranya pemasangan poster dan baliho. Tak sedikit, terpampang gambar atletnya kalah besar dengan yang memberi ucapan selamat.
Pada awal Agustus tahun ini, seolah perang baliho juga terlihat di sejumlah daerah. Terpampang gambar para pimpinan parpol menyebar sampai pelosok nusantara.
Tidak sampai di situ, erupsi gunung Semeru menggerakkan hati para politisi melakukan aksi peduli. Selain memberikan bantuan dengan membawa nama parpol dan tokoh parpol, rasa simpati dan peduli kepada korban bencana juga dituangkan lewat puisi dalam baliho yang dipasang di tepi jalan menuju tempat pengungsian.
Wajar saja menarik simpati dengan membangun empati. Masing– masing parpol dan elite politik memiliki cara tersendiri mengemas citra diri, memoles popularitas untuk mendongkrak elektabilitas.
Menjadi tugas partai dan seluruh jajarannya mengerek popularitas kadernya yang digadang–gadang hendak diusung sebagai calon presiden. Meski pemilihan presiden (pilpres) masih tiga tahun lagi, tetapi pencitraan , branding, image, promosi diri bagi kadernya harus dipersiapkan sejak dini.
Personal branding (citra diri) harus dilakukan secara terus menerus untuk menarik simpati publik. Tidak cukup satu tahun, dua tahun atau tiga tahun. Dan, tak kalah pentingnya adalah keunggulan personal yang hendak di branding.
Itulah sebabnya mengemas popularitas harus diimbangi dengan peningkatan kualitas. Membangun citra diri harus diikuti dengan kualitas diri. Begitupun dalam mengemas popularitas sebagai investasi politik tahun 2024, tanpa didukung kualitas, boleh jadi elektabilitas akan stagnan.