"Hal ini bertujuan membangun kedekatan para relawan pendamping dengan penyintas. Dilakukan juga dalam jangka panjang. Tidak hit and run," harap Lukman.
Mantan jurnalis yang juga mantan relawan kemanusiaan di Rohingya, gempa Palu, Lombok dan banjir bandang Lebak tersebut menilai penderitaan sesungguhnya para penyintas bukan saat tanggap darurat.
"Tapi justru saat para relawan sudah pulang, tak ada lagi wartawan yang memberitakan. Tak ada bantuan logistik mengalir. Suasana kembali sepi. Rasa kehilangan dan kesedihan sesungguhnya barulah sangat terasa," ungkapnya.
Pihak perguruan tinggi, lanjut Lukman, harus mulai memikirkan mengambil alih momentum ini dengan menerjunkan mahasiswa-mahasiswa psikologinya untuk membersamai.
"Minimal tiga bulan di lokasi bencana. Kalau perlu pengabdian hingga satu tahun seperti kedokteran," usul Lukman.
Founder Rumah Polymath yang juga Guru Besar Psikologi UIN Jakarta, Prof Achmad Syahid menekankan agar menjadikan momentum ini sebagai peluang bagi mahasiswa psikologi untuk berbuat bagi masyarakat korban bencana.
"Temuan yang disampaikan narasumber lapangan (dalam webbinar) ini, bisa menjadi bahan rujukan untuk membuat sebuah rumusan program lanjutan," imbuhnya.
Narasumber lain dalam diskusi tersebut diantaranya dua relawan psikososial dari Brigade Relawan Nusantara yang juga mahasiswa Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Aprilia Saraswati dan Angelia Pratama Kennedy.
Keduanya menceritakan pengalaman terjun ke pengungsian Semeru dan membeberkan sejumlah temuan lapangan. (*/mia)