BANJIR masih menjadi satu persoalan serius di DKI Jakarta, bukan saja karena persoalan ini amat penting untuk segera diatasi, juga masih menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, siapapun gubernurnya.
Mengapa demikian? Jawabnya karena masalah banjir sudah ada sejak lama, dan akan tetap ada. Banjir sulit dibendung, yang bisa dilakukan adalah mencegah banjir lebih meluas lagi. Lebih cepat surut, dan lebih berkurang tinggi genangan air dan lebih mengecil area banjir serta lebih sedikit dampak yang ditimbulkan.
Para pakar mengatakan, Jakarta dan pantai utara di Indonesia menjadi daerah yang berpotensi “tenggelam”.Penyebabnya adalah amblesnya permukaan tanah sehingga lebih rendah dari tinggi permukaan air laut. Selain Jakarta, sebut saja Indramayu, Semarang dan Surabaya.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta, tergolong tinggi, saat ini mencapai 12 cm per tahun di Jakarta Utara.
Pembangunan gedung bertingkat dan pengambilan sumber air tanah secara masif akan mempercepat penurunan muka tanah. Dampak yang terlihat, air laut sudah masuk dan mengurangi batas wilayah Jakarta Utara.
Badan Geologi mencatat, intrusi air laut sudah mencapai wilayah Monas bagian utara.
Ini kondisi alam yang diprediksi dapat “menggelamkan Jakarta” jika tidak segera dicarikan solusi bagaimana mencegah terjadinya penurunan muka tanah di Jakarta, setidaknya menghambat penurunan.
Kajian para ahli, potensi Jakarta bisa tenggelam bukan karena kenaikan muka air laut yang sekitar 3 milimeter per tahun, tetapi lebih dominan adalah penurunan muka tanah, yang terjadi juga di wilayah pantura Indonesia.
Itulah sebabnya penurunan muka tanah harus segera direm. Mesti tarik rem darurat seperti menata pengambilan air tanah secara berlebihan, pembangunan gedung bertingkat yang abai tata ruang dan lingkungan.
Ini soal prediksi tenggelam karena kondisi alam, lantas bagaimana dengan kebanjiran akibat musim penghujan? Jawabnya ini pun harus segera dicarikan solusi karena menyangkut terganggunya aktivitas dan hajat hidup orang banyak.
Tidak cermat dan tepat mengambil kebijakan mengatasi banjir, akan menyisakan kontroversi, selain akan menerima banyak kritikan tajam.
Sumur resapan yang dibangun di trotoar kawasan Kanal Banjir Timur (KBT) di sekitar Jalan RS Soekanto, Jakarta Timur, menjadi satu di antara kebijakan yang dinilai tidak tepat oleh mereka yang ahli di bidangnya.
Lepas sudah adanya klarifikasi terkait pemilihan lokasi sumur resapan tersebut, tak ayal telah menyisakan kontroversi yang patut disikapi.Sepahit apapun kritikan harus direspon secara apik dan arif. Sebab, sering dikatakan, kritikan itu bisa menjadi obat kuat, jika disikapi secara arif dan bijak.
Kritik apapun bentuk dan latar belakangnya sangat diperlukan dalam negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Kritik diberikan tentu karena adanya rasa memiliki, agar apa yang dimiliki akan menjadi lebih baik.
Maknanya, perlu ada perbaikan di kemudian hari, perlu lebih cermat dan hati – hati sebelum kebijakan diluncurkan. Perlu juga sosialisasi tentang kebijakan yang sekiranya akan menimbulkan banyak pertanyaan karena agak aneh, tidak lazim sebagaimana yang tampak dan terlihat di depan mata.
Kami meyakini setiap kebijakan tentu untuk kebaikan dan kemajuan wilayahnya, kebahagiaan dan kesejahteraan warganya.
Begitu pun sumur resapan berfungsi ganda,tak hanya mengurangi genangan air di sekitarnya, juga menambah cadangan sumber air tanah. Bahwa sumur resapan mampu mengendalikan banjir akibat air hujan dan kiriman di Jakarta, itu perlu kajian lebih mendalam sebagaimana mengevaluasi setiap kebijakan yang dikeluarkan.
Yang pasti, sumur resapan, bukan satu – satunya upaya mengatasi banjir di Jakarta. (Jokles)