Sebagaimana UU No.18/2012 tentang Pangan, yang dimaksud “kemandirian pangan” adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai ditingkat perorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan kearifan lokal secara bermartabat.
Maknanya, syarat kemandirian pangan, jika komoditas pangan diproduksi di dalam negeri; memenuhi kebutuhan pangan seluruh rakyat tanpa terkecuali; memanfaatkan sumber daya lokal secara bermartabat.
Lewat ulasannya di kolom “Kopi Pagi”, pak Harmoko sering mengatakan, jika produk lokal dengan sumber daya lokal sebagai primadona dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional, maka kebijakan di bidang pertanian, perlu adanya keberpihakan kepada petani sejati, bukan "petani berdasi”.
Lebih memberikan akses pasar, permodalan serta teknologi kepada petani kecil, dengan membatasi penguasaan sumber daya alam dan pangan kepada korporasi, konglomerasi maupun kartel.
Kalau bicara soal sumber daya alam kita, sangatlah melimpah ruah.
Indonesia dikenal sebagai negeri "Zamrud Khatulistiwa" yang oleh Prabu Jayabaya disebut sebagai negeri yang "gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja". Artinya negeri yang subur, makmur, sentosa, tenteram dan damai. Subur kang sarwa tinandur lan murah kang sarwa tinuku (tanahnya subur dan ditanami apa saja tumbuh. Serba murah dan terbeli oleh rakyat).
Tonton juga video Headline "Harian Poskota Edisi Senin 8 November 2021". (youtube/poskota tv)
Kalau untuk memenuhi kebutuhan beras 273,5 juta penduduk Indonesia, dengan lahan 7,46 juta hektar lahan baku sawah nasional, sudah dapat diproduksi 33 juta ton beras setiap tahunnya untuk konsumsi dalam negeri.
Belum lagi sekitar 30 juta lahan tidur dan tidak produktif yang tersebar di areal pegunungan lain dan kawasan hutan yang masuk dalam kawasan konsesi. Kalau setiap hektare digarap 1 petani, berarti sudah menghidupi 30 juta warga dan keluarganya. Belum lagi hasil produksinya dapat memperkuat kemandirian pangan non-beras, misalnya.
Yang diharapkan sekarang ini, adanya kemauan politis untuk mengolah dan mengelola kekayaan sumber daya alam sebegitu rupa secara bermartabat demi mewujudkan masyarakat yang adil makmur sejahtera, gemah ripah loh jinawi, sebagaimana cita-cita para leluhur negeri ini sejak dulu. Hal tersebut bukanlah mustahil dilakukan. Mari kita mulai! (Azisoko *)