Sadaring Satupena#6: Kebiasaan Lokal yang Telah Berakar Jadi Tantangan yang Tak Mudah Diretas oleh Para Pegiat Literasi

Kamis 04 Nov 2021, 03:03 WIB
Sadaring #6 Satupena bertajuk “Suara-Suara dari Lumbung Literasi”, Minggu (31/10/2021) yang dilakukan secara virtual. (ist)

Sadaring #6 Satupena bertajuk “Suara-Suara dari Lumbung Literasi”, Minggu (31/10/2021) yang dilakukan secara virtual. (ist)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Kebiasaan-kebiasaan lokal yang telah berakar pada masyarakat menjadi tantangan yang tak mudah diretas oleh para pegiat literasi.

Kebiasaan menikah dini, yang masih terjadi di berbagai daerah di Indonesia, memerlukan penanganan khusus, agar tidak menimbulkan ketegangan di tengah-tengah masyarakat. 

Demikian benang merah yang mengemuka dalam Sadaring #6 Satupena bertajuk “Suara-Suara dari Lumbung Literasi”, Minggu (31/10/2021) yang dilakukan secara virtual.

Seperti Sadaring sebelumnya, kali ini ada pembacana puisi dari penyair asal Sumatera Barat, Esha Tegar Putra dengan puisi berjudul  “Cindua Mato dan Puti Lenggo Geni” dan “Mencari Puti Bungsu”

Sadaring, menurut Ketua Presidium Satupena Bidang Pengembangan Sumber Daya Imelda Akmal, akronim dari “sarasehan dalam jaringan”, yang secara rutin dihelat oleh Satupena sejak bulan Agustus 2021 lalu. 

Sadaring #6 Satupena antara lain diikuti oleh peserta dari Selandia Baru, Malaysia, Manado, Balige, Denpasar, Malang, Surabaya, Bandung, Jakarta, serta berbagai daerah Indonesia.

Tampil sebagai pembicara Ama Achmad, pegiat komunitas Babasal Mombasa (Sulawesi Tengah), Debby Loekito Goeyardi, kurator buku anak (Denpasar), dan Iffah Hannah pendiri Komunitas Perempuan Membaca (Sumenep-Madura). Sadaring dipandu oleh jurnalis dan penulis Deasy Tirayoh. 

Menurut Iffah, beberapa kebiasaan di Sumenep, Madura, menjadi tantangan besar dalam menggulir program-program literasi berbasis pemberdayaan masyarakat.

Kebiasaan seperti menikah dini, tidak percaya pada kemampuan medis, dan urbanisasi menyebabkan desa terlalu pelan dalam mengejar ketertinggalan dalam berbagai bidang.

“Kalau sudah lepas ngaji misalnya sudah dianggap pantas untuk menikah,” kata Iffah. Bahkan, tambahnya, beberapa orangtua telah menjodohkan anak-anak mereka sejak dalam kandungan. 

Kalau sudah demikian, praktis anak-anak remaja putus sekolah paling tinggi SMA. Kalau “selamat” dari jebakan menikah dini, biasanya para remajanya pergi ke kota dan menjadi penjaga toko sembako.

Berita Terkait
News Update