MBAH Dirjo, 65, dan Mbah Wongso, 65, terkenal jadi kakek pemabokan, sampai dijauhi para warga. Tapi ketika mabok bersama beberapa hari lalu, berakhir tragis. Mbah Wongso tewas dibacok pedang, karena dituduh mengganggu istri Mbah Dirjo. Diantar Pak RW Mbah Dirjo menyerahkan diri.
Jika usia sudah kepala enam, mestinya rajin beribadah, apapun agamanya. Tapi ada juga yang makin tua malah doyan mabok. Kumpul sesama anggur kolesom (orangtua), mabuk bareng, melupakan kesulitan hidup sehari-hari. Padahal dalam kondisi mabok orang susah dikontrol emosinya, sehingga sering terjadi habis mabok malah bunuh-bunuhan. Maka bagi masyarakat Jawa, mabok dalah salah satu dari “malima” yang harus dijauhi.
Mbah Dirjo yang tinggal di Jogonalan Klaten (Jateng), adalah kakek-kakek yang terkenal sebagai tukang mabok. Dia punya teman sesama pemabok, Mbah Wongso dari Karangnongko. Bila keduanya ketemu pasti mabok bersama, botol bir berantakan ke mana. Dalam kondisi mabok tersebut keduanya lalu ngomong ngaco. Sepertinya keduanya layak masuk grup Pangunci (Paguyuban Ngunjuk Ciu) di Mbekonang, Solo.
Mbah Dirjo dan Mbah Wongso sudah kebal oleh nasihat istri dan anggota keluarga yang lain. Jika dinasihati jangan mabok, malah marah sambil banting ini itu. Lama-lama istri Mbah Dirjo memilih tinggal bersama anaknya. Karenanya Mbah Dirjo jadi bebas merdeka di rumah, tak ada yang melarang. Mau mabok sehari 5 kali pun takkan ada yang menegur. Hepi pokoknya! Mabok terus sampai tua, lha memang mereka sudah tua.
Beberapa hari lalu Mbah Dirjo mengundang rekan sepemabukan Mbah Wongso dari Kecamatam Karangnongko. Keduaya lalu minum bir bersama-sama, sampai berhoek-hoek. Mulailah keduanya ngomong ngaco. Yang sungguh di luar dugaan, Mbah Dirjo kemudian menuduh sobat maboknya itu menyelingkuhi istrinya. Dia beralasan, dia sampai tinggalkan rumah berbulan-bulan gara-gara tergoda pada Mbah Wongso.
“Kalau saya niat selingkuh pasti cari yang cantik, bak pemain sinetron sejuta episode. Lha istrimu ini apa, sudah jelek, tua dan entut-entutan lagi....” kata Mbah Wongso seenaknya, namanya juga orang mabok. Dia lupa bahwa minum bir berbotol-botol ini yang nraktir juga Mbah Dirjo. Ini kan seperti pepatah lama: air susu dibalas air tuba, atau dibeciki mbalang tahi.
Perlu ditambahkan di sini, Mbah Dirjo ini orangnya temperamental, gampang marah macam Prabu Baladewa wayang kulit. Meskipun ngarani waton nyata, dia sangat tersinggung istrinya dibilang jelek dan kentut melulu. Mbah Dirjo pun bangkit dan menempeleng Mbah Wongso sampai klumah (terjengkang). Tentu saja Mbah Wongso tak mau menyerah. Dia keluarkan jurus mautnya, sehingga gantian menendang si kakek hingga terkapar.
Bak Kiageng Pandanalas lawan Pasingsingan dalam cerita silat Keris Nagasasra Sabuk Inten, perkelahian mereka seru sekali. Tapi lama-lama Mbah Dirjo terdesak dan segera meraih pedang pembabat rumput sawah, dihantamkan ke leher Mbah Wongso. Kontan si kakek dari Karangnongko ini tumbang dan tewas.
Tahu lawannya wasalam, dia segera menghubungi Pak RW yang rumahnya berdekatan, minta diantar ke Polsek Jogonalan. Tapi apa masalahnya dia tak mau mengaku. Begitu tiba di pos penjagaan Polsek, langsung saja Mbah Dirjo melapor, “Maaf Pak, saya baru saja bunuh orang, mayatnya masih ada di rumah!” Polisi pun terkaget-kaget dibuatnya.
Lebih kaget lagi Pak RW, karena tak menyangka bahwa baru saja memboncengkan pembunuh ke Polsek. Mau tak mau dia dijadikan saksi, sementara polisi yang lain mengusut di TKP. “Saya baru tahu, Mbah Dirjo itu pembunuh berdarah dingin.” Kata Pak RW selepas ditanyai polisi.
Apa saat membunuh Mbah Dirjo kantongi es batu? (GTS)