Tetapi apa yang dibicarakan Prof Jimly adalah “etika kepantasan”, soal pantas atau tidak pantas, yang secara filosofis bukanlah norma fundamental seperti dibahas Immanuel Kant atau Thomas Aquinas dalam Summa Theologia atau dalam tulisan-tulisan Al Ghazali.
"Norma “etika kepantasan” yang disebut-disebut Prof Jimly itu tidak lebih dari norma “sopan santun” yang bersifat relatif dan sama sekali bukan norma fundamental dan absolut sebagaimana dalam norma etik," terang Yusril, seperti dikuti poskota, Minggu 3 Oktober 2021.
Yusril mengumpamakan, jika ada orang Batak bertamu ke rumah orang Sunda dan dia menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan orang tuan rumah, maka gaya dan tatacara dan bersalaman tamu orang Batak itu mungkin tidak sesuai dengan “etika kepantasan” orang Sunda. Tetapi tamu orang Batak itu bukan orang jahat.
Lain halnya jika tamu itu pulang, maka sendok garpu tuan rumah dia kantongi diam-diam. Pencurian adalah pelanggaran norma etika (spt disebut dalam Ten Commandements dan Mo Limo dalam falsafah Jawa).
Soal “etika kepantasan” yang disebut Prof Jimly bukan hal fundamental.
Norma sopan santun itu konvensional, bahkan kadang tergantung selera untuk mengatakan pantas atau tidak pantas.
Pertanyaan yang sama bisa saja dikemukakan: Apa pantas seorang anggota badan legislatif mengomentari sebuah perkara yang sedang diperiksa badan yudikatif? Apa pantas MK menguji UU MK sendiri, yang MK punya kepentingan baik langsung atau tidak langsung dengan UU itu?
"Prof Jimly beberapa kali menguji UU yang justru MK dan hakim MK berkepentingan dengan UU yang diuji itu" kata Yusril.
"Prof Jimly akan menjawab tidak ada UU yang melarang MK menguji UU MK. Ya memang tidak, tapi apa pantas? Apa pantas MK memeriksa pengujian UU yang MK berkepentingan dengannya?" lanjutnya.
Yusril bahkan mempertanyakan berapa banyak hal itu dilakukan semasa Prof Jimly jadi Ketua MK?
Saya kira ini bukan sekedar persoalan “etika kepantasan” tetapi berkaitan langsung dengan norma etika fundamental terkait dengan keadilan dan sikap inparsial, serta juga norma hukum positif, misalnya UU Kekuasaan Kehakiman. (tha)