Boro-boro Ngadinah mengantongi surat cerai, daftarkan gugatan ke PA Blitar saja belum.
Masalahnya, dia jadi ingat anak-anaknya. Jika cerai dan ganti suami, anak-anak jadi korban hanya karena emaknya mau cari enak.
“Saya nggak tega, Kang. Kita balik ke keluarga masing-masing saja, ya?” kata Ngadinah.
Sikap wanprestasi (cidera janji) Ngadinah ini bikin kecewa dan marah Ngatijo.
Situ enak, masih ada suami, keluarga utuh. Lha sini, keluarga sudah kadung berantakan kok nggak ada penggantinya.
Ini benar-benar jadi lebai malang. Ngatijo lalu memaksa Ngadinah untuk bercerai pada suami, tapi tetap menolak.
Saking jengkelnya, Ngadinah lalu dianiaya di tempat sepi hingga tewas.
Tapi setelah berhasil membunuh Ngadinah, Ngatijo baru sadar bahwa nasibnya tak hanya sekedar lebai malang, tapi bisa-bisa dikrangkeng di Lowok Waru Malang (penjara).
Takut menghadapi kemungkinan terakhir itulah, Ngatijo nekad bunuh diri dengan cara gantung diri di pohon kopi.
Polisi Polres Blitar segera mengusut peristiwa itu atas laporan warga.
Berdasarkan bukti-bukti di lapangan dan keterangan keluarga Ngadinah-Ngatijo, disimpulkan bahwa Ngatijo membunuh Ngadinah dulu, baru bunuh diri.
Rupanya dia terjebak pada rekayasa politiknya sendiri. Bikin taktik dalam urusan lobang, akhirnya keduanya masuk lobang.