SEORANG pengendara mobil tak berani menyalip pesepeda di depannya. Padahal kalau dia mau, bisa melewatinya karena jalan tersebut cukup lebar.
Tapi, kenapa dia lebih memilih mengawal sang pesepeda dari belakang? Oh, ternyata orang yang sedang ngegoes sepeda adalah lelaki sepuh.
Dia adalah profesor, sang guru bagi si pengendara mobil, jadi dia tak berani melewatinya.
Itu adalah satu ilustrasi yang viral di media sosial. Bahwa masih ada anggah ungguh, yang merasa muda nggak begitu saja nyelonong melewati dengan seenaknya.
Kayaknya, peristiwa yang kayak begini, ini bisa terjadi pada zaman kuda gigit besi, dulu kala. Ya dulu ketika guru sangat dihormati oleh sang murid.
Bayangkan saja, untuk berpapasan saja, seorang murid tak berani. Dia lebih baik menunggu sampai sang guru lewat lebih dulu.
Nah, kalau masih ada yang begitu di zaman now, rasanya memang sangat luar biasa.
Bukannya nggak boleh, tapi sekarang ini murid sama guru, ya kayak nggak ada lagi segan atau batasan.
Guru ya guru, bisa saja malah kayak teman. Boleh saja sih, ini menandakan bahwa guru murid sama-sama manusia sosial, yang bisa bergaul, ngobrol sama-sama? Begitu.
Tapi kadang karena bebasnya, guru jadi lawan berkelahi. Guru dianiaya sampai meninggal.
Oleh sebab itu, seharusnya yang namanya etika, sopan santun, anggah ungguh, anak pada orang tua termasuk pada guru tetap dijaga.