SEKELOMPOK orang bergerak, berlari, mengangkat senjata tajam sambil berteriak-teriak. Di sebelah sana kelompok lain, juga melakukan hal sama, malah membabi buta membacokan parang atau celurit yang mereka bawa.
Cros, cros, dan buk, buk. Batu melayang kayak peluru mengancam orang, dan nyatanya memang ada korban yang jatuh. Terkapar luka parah, sekarat atau tewas!
Knalpot kendaraan meraung-raung menambah ketegangan. Hiruk pikuk, saling menyerang. Ini adalah gambaran tawuran geng motor yang sering terjadi di jalan raya atau di lokasi mana saja, tanpa pandang tempat dan waktu.
Peristiwa kaya begini ini sering juga terjadi dilakukan oleh anak-anak muda yang tergabung dalam geng motor. Tawuran mereka lakukan dengan penuh kesadaran.
Kata petugas yang sering menangani geng-geng motor, bahwa apa yang mereka lakukan seperti mau tanding bola. Mereka bikin janji, kapan bertemu di sana, jam berapa.
Dan jangan lupa karena mau tawuran yang tahu sendirilah, harus membawa alat-alat seperti clurit, parang dan berbagai jenis senjata lainnya yang bisa digunakan untuk saling menebas lawan.
Coba saja, apa ini nggak gila? Tawuran kok pakai janji segala, dan sadar bahwa bakalan bentrok dan ada korban luka atau bisa juga tewas? Sadarkan mereka? Ya, nggak tahulah.
Karena geng motor yang menyeramkan itu ternyata anggotanya banyak yang masih anak-anak di bawah umur. “Mereka masih ada yang SMP,” kata petugas.
Kalau sudah begini bagaimana, ya? Tentu saja, jika mereka masih punya orang tua, ya orang tualah yang harus mengawasi anak-anak nya.
Bayangkan saja, dalam situasi masyarakat lagi tegang dan was-was soal corona, kok mereka asyik-asyik saja tawuran menyabung nyawa?
Tindakan tegas dalam hukum. Ini tentu saja tugas dari yang berwenang.