Oleh Joko Lestari, Wartawan Poskota
DALAM beberapa pekan terakhir, Indonesia dinilai menjadi salah satu episentrum pandemi global. Ini ditandai dengan masih tingginya penambahan kasus positif, melonjak 4 hingga 5 kali lipat dalam lima pekan terakhir. Dari sebelumnya di angka harian 10 ribu menjadi antara 40- 50 ribu.
Di sisi lain tingginya angka kematian yang sempat mencatat rekor tertinggi, tembus di atas 1.400 kasus per hari, makin perlu diwaspadai.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menilai Indonesia saat ini menghadapi tingkat penularan sangat tinggi yang terlihat pula dari melonjaknya kasus positif, selain rasio jumlah warga yang dites (dilakukan testing) dengan yang terinfeksi – positivity rate, tergolong tinggi, masih di atas 30 persen.
Kondisi yang demikian menyiratkan pentingnya penerapan kesehatan masyarakat dan langkah-langkah pengetatan serta pembatasan pergerakan di seluruh negeri, utamanya daerah dengan lonjakan kasus sangat tinggi.
Kita memahami, langkah pengetatan dan pembatasan-pembatasan telah dilakukan pemerintah sejak kasus positif mulai melonjak dengan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berbasis mikro, PPKM Darurat (sejak 3-20 Juli 2021) hingga PPKM level 4 yang berlaku sekarang dengan disertai pengetatan dalam penyekatan dan pembatasan-pembatasan.
Kebijakan ini, tak lain membatasi mobilitas penduduk, menekan pergerakan masyarakat, mengurangi aktivitas masyarakat di luar rumah guna menekan penyebaran virus corona dan varian Delta.
Kita dapat memahami, pembatasan–pembatasan melalui PPKM Darurat dan level 4 tidak bisa secara serta merta dan instan menurunkan kasus positif harian di bawah angka 10 ribu sebagaimana target yang hendak dicapai.
Kebijakan pembatasan, apapun namanya, lazimnya baru dapat diketahui hasilnya secara efektif tiga pekan setelah diberlakukan. Meski, tanda-tandanya dapat ditengarai pada pekan kedua, tentu dengan evaluasi secara menyeluruh setelah kebijakan dijalankan.
Pertama, sinkron tidaknya antara kebijakan dengan pelaksanaan di lapangan. Ini disebut penjabaran kebijakan.
Kedua, sinkron tidaknya kolaborasi antar- instansi dalam menjabarkan kebijakan dan melaksanakan kebijakan.