Jelang Perundingan Perubahan Iklim, Menteri LHK: Indonesia Telah Susun Strategi Jangka Panjang Implementasi Mitigasi

Rabu 21 Jul 2021, 11:55 WIB
Menteri LHK Siti Nurbaya secara virtual memberi arahan kepada para calon Delegasi RI ke persidangan COP-26 UNFCCC. (ist)

Menteri LHK Siti Nurbaya secara virtual memberi arahan kepada para calon Delegasi RI ke persidangan COP-26 UNFCCC. (ist)

Sejak tahun 2020, Indonesia telah berproses untuk menyusun dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050), menuju net-zero emissions dengan tetap mempertimbangkan kondisi ekonomi yang bertumbuh, berketahanan iklim dan berkeadilan. 

"Dokumen LTS LCCR 2050 disusun berdasarkan kondisi perekonomian dan turunnya kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta pembelajaran atas rentannya kondisi global menghadapi pandemi COVID-19 dengan tetap optimis mengacu kepada prospek pemulihan pascapandemi serta kebijakan nasional seluruh sektor saat ini sampai tahun 2050," ungkap Menteri Siti.

Sektor Agriculture, Forestry dan Land Use (AFOLU) dan sektor energi akan sangat menentukan pathways yang akan dituju pada tahun 2050. Dengan skenario paling ambisius yaitu Low Carbon Compatible with Paris Agreement (LCCP), secara nasional Indonesia akan mencapai peaking pada tahun 2030 dengan sektor FOLU sudah mendekati net sink. 

"Seluruh sektor harus makin meningkatkan penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) menuju tahun 2050. Selain itu, diharapkan pada tahun 2050 dapat tercapai ketahanan iklim melalui jalur sektoral dan kewilayahan," jelas Menteri Siti.

Prestasi Indonesia
Ketiga, Menteri Siti kemudian menyakinkan kepada calon delegasi, bahwa Indonesia cukup baik dalam upaya pengendalian perubahan iklim.

Pada forum multilateral, Indonesia seringkali menjadi sorotan atas capaian, prestasi, dan kebijakan yang menawarkan solusi.

Sedangkan secara bilateral, Indonesia di berbagai kesempatan didekati oleh negara yang dengan maksud untuk menjadi mitra dalam menangani perubahan iklim.

Kebakaran hutan di tahun 2015 dengan luas areal terbakar 2,6 juta ha dari interpretasi citra satelit, serta 1,6 juta hektar pada tahun 2019, memberikan pelajaran sangat berharga  dan kemudian terus diupayakan dengan kerja keras untuk dapat diatasi.

Akhirnya pada tahun 2020 ditetapkan kebijakan dan langkah pencegahan secara permanen melalui upaya-upaya yaitu: monitoring hotspot dan patroli, sistem paralegal untuk membangun kesadaran bersama masyarakat, teknik modifikasi cuaca, tata kelola gambut, dan penegakkan hukum. 

"Tidak mudah penyelesaian selama beberapa  tahun, dan dalam turbulensi interaksi yang  cukup berat antar berbagai elemen stakeholders, terutama dengan dunia usaha. Dan di tahun 2020 kemarin kita berhasil menekan areal kebakaran hutan hanya menjadi  sekitar 290 ribu hektar," terang Menteri Siti.

Pada konteks emisi karbon, bisa dihitung emisi  gas rumah kaca (GRK) pada 2015 sebesar 1,5 Gton CO2 eq, pada  tahun 2019 menjadi 0,9 Gton CO2eq. Diantara 0,9 Gton CO2eq tersebut, yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan tercatat sebesar 0,45 Gton CO2 eq; dan pada tahun 2020 turun menjadi 0,03 Gton CO2 eq.

"Ini artinya bahwa kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, dengan pencegahan permanen, telah menunjukkan hasil kerja cukup baik dan masih harus dipertahankan dan untuk terus ditingkatkan," ungkap Menteri Siti. (*)

Berita Terkait

News Update