Malam itu saya terbangun dari tidur pulas di meja. Belaian lembut tangan Bapak mengusap kepala saya yang agak berat untuk beringsut. Waktunya pulang.
Suara gulungan mesin cetak koran terdengar bergemuruh, berputar mencetak untuk edisi koran Poskota keesokan harinya.
Sebelum tertidur biasanya saya menggambar di samping meja kerja Bapak, sesekali mata saya memperhatikan kedua telunjuknya yang lincah menekan huruf-huruf di mesin ketik Brothers manualnya. Bapak juga sesekali melihat hasil goresan gambar saya sambil meniru ucapan pelukis terkenal era 80-an pak Tino Sidin, “Bagus!”
Dalam perjalanan pulang biasanya Bapak memutar lagu-lagu Latin. Salah satu lagu favorit beliau adalah Maria Elena yang dinyanyikan oleh Nat King Cole. Lagu itu juga yang sering kali diminta Bapak ketika ada musik live atau pengamen yang datang saat kami berkuliner.
Paling tidak dua kali dalam sepekan Bapak mengajak saya atau kakak-kakak saya menemaninya lembur di kantor, mungkin karena jarang bertemu dengan ketiga anaknya.
Hari-hari Bapak selalu diisi penuh dengan kesibukan dari pukul 06.00 hingga dini hari. Di malam Minggu adakalanya Bapak mengajak kami pergi makan sate dan gulai kambing favoritnya.
Itulah salah satu memori saya 38 tahun silam, sebelum Bapak diangkat menjadi Menteri Penerangan di tahun 1983.
Ketika mulai menjabat sebagai menteri, kesibukan beliau pun lebih padat.
Yang patut saya syukuri dan menjadi panutan, bila tidak ada acara atau dinas luar, Bapak selalu menyempatkan diri menjadi Imam salat Maghrib berjamaah dilanjutkan dengan makan malam bersama di rumah.
Perbincangan di meja makan selalu mengenai keadaan kami masing-masing diwarnai dengan candaan Bapak yang humoris. Sering juga Bapak memberikan nasihat dan wejangan kepada kami semua. Bahkan perbincangan politik yang ringan kadang disampaikan Bapak di meja makan.
Ketika Bapak dipilih menjadi Ketua Umum Golkar pada tahun 1993, beliau otomatis lebih sibuk lagi. Senin sampai Kamis sibuk dengan urusan Kementerian dan Jumat sampai Minggu sebagai Ketum Golkar, selalu berkunjung konsolidasi ke setiap Kabupaten di seluruh Provinsi di Indonesia untuk pemenangan Golkar. Terkadang di akhir pekan saya pun ikut diajak Bapak berkeliling daerah. Sungguh suatu pelajaran politik yang sangat berharga.
Pada saat Reformasi berlangsung saya sedang kuliah S1 di Boston, Amerika Serikat. Mencekamnya situasi di Tanah Air terus saya pantau, baik melalui media online maupun per telepon dengan keluarga. Saya sangat mengerti Bapak dihadapkan oleh pilihan yang sangat sulit. Pak Harto (Presiden RI ke-2 HM Soeharto) sudah dianggap Bapak sebagai orangtua Bapak sendiri. Beliau adalah mentor Bapak. Dan masih Bapak anggap sebagai orangtua dan mentor sampai akhir hayat Bapak.