Pak Harmoko, Tokoh yang di Mana-mana Masih Disebut Menteri Penerangan

Senin 05 Jul 2021, 06:42 WIB
Pak Harmoko, saat acara Macapatan, di kediaman beliau, di Taman Patra Kuninga, Jakarta Selatan. (foto: winoto)

Pak Harmoko, saat acara Macapatan, di kediaman beliau, di Taman Patra Kuninga, Jakarta Selatan. (foto: winoto)

BAPAK Haji Harmoko telah meninggalkan kita semua. Beliau wafat di usia 82 tahun. Sebelumnya menjalani perawatan di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Beliau lahir, di Kertosono, 7 Februari 1939.

Beliau adalah tokoh yang menjadi Menteri Penerangan terlama, dipercaya sampai tiga periode. Maka. Tak heran kalau Pak Harmoko, dimana-mana masih disebut Menteri Penerangan.

Sekitar empat atau lima tahun belakangan, aktivitas beliau sudah banyak berkurang. Bayangan kami, kok tiba-tiba beliau “jadi sepuh”. 

Maksudnya, sebelum itu, meski usia di atas 70 masih trengginas, masing sering kunjungan ke daerah dengan kendaraan darat, biasa dengan sopir kesayangannya, Pak Daliman. Dia sopir pribadi yang sudah lama sekali membawa Pak Harmoko kemana-mana.

Kunjungan ke daerah dengan kendaraan darat, bahkan dilakukan hingga ke ujung timur Pulau Jawa Salah satunya, ke Bondowoso, Jawa Timur, sekitar enam tahun lalu.

Tujuannya, soal kopi dan melihat luwak, di sebelah timur kota Bondowoso, di Perkebunan Kopi Kalisat, Jampit, masuk PTPN XII. 

Perekbunan itu ada sejak jaman Belanda, tempatnya indah. Sejuk, malam hari benar-benar katisen (kedinginan sekali). Di sana ada hewan luwak yang digunakan untuk menghasilkan kopi luwak. Di sana pula beliau menikmati kopi luwak asli dari sumbernya. Kopinya asli, luwaknya asli.

Pak Harmoko memang penggemar kopi, dimana-mana kalau waktunya makan, beliau pasti mencari hidangan kopinya. Tapi, sudahlah, kalau soal kopi ini beliau memang luar biasa, bisa dibahas panjang lebar.

Kembali ke kunjungan ke daerah, yang paling sering dikunjungi, kiranya ya tempat lahir beliau, Patihan Rowo, Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur.

Di sana tampaknya sejuta kenangan buat Pak Harmoko. Rumah peninggalan Eyang Asmopawiro, kini jadi sanggar seni, untuk masyarakat luas. Letaknya, persis di seberang Pabrik Gula Patihan Rowo, di pinggir Kali Brantas. Dari Kota Kertosono sehitar 5 km, ke arah utara. 

Di Kertosono, beliau paling tidak ada tiga kegiata utama, yakni urusan keluarga besar, urusan seni-budaya, utamanya kesenian Jawa (timuran), lantas soal Pesantren Al Barokah, yang didirikannya sejak puluhan tahun lalu. 

Pimpinan Pesantren tersebut seorang kyai asal Betawi, yang dulunya nyantri di Pondok Gontor Ponorogo. Beliau bahkan berisitri dari kerabat kyai Pondok Gontor. 

Pak Harmoko memang sangat erat dengan urusan pesantren itu, juga pesantren-pesantren lain, terutama semasa masih menjadi Menteri Penerangan dulu. 

Oh, iya, dimana-mana, Pak Harmoko masih saja disebut sebagai Menteri Penerangan, meski beliau sudah lama sekali sudah tidak menjabat posisi itu. Orang di daerah, tahunya tetap Menteri Penerangan, meski jabatan beliau yang terakhis sebagai Ketua DPR/MPR.

Nah, itu dia, soal Menteri Penerangan, sepertinya sudah menempel lengket tak  bisa lepas dengan sosok Pak Harmoko, seakan sudah paten. Pak Harmoko adalah Menteri Penerangan, selamanya. 

Meski setelah beliau ada Menteri Penerangan berikutnya, yakni Prof Alwi Dahlan (pakar komunikasi dari UI, sekarang sudah almarhum), namun hal itu tak pernah menghapus nama Pak Harmoko dari  nama jabatan Menteri Penerangan.

Ketika sudah jauh pesiun dari jabatan Menteri Penerangan, di daerah-daerah, beliau kalau ceramah atau pidato, kharismanya masih seperti Menteri Penerangan. 

Masyarakat yang menonton sangat menyukainya, dan banyak mendapat hiburan dari beliau, yang memang sangat pandai mengemas bahan serius menjadi ringan dan menghibur.

Suatu kali, saat acara di dekat petilasan Patih Gajah Mada (Majapahit) di Kertosono), beliau memberikan sambutan di hadapan massa yang penuh sesak, di satu lapangan terbuka.

Beliau bercerita soal Patih Gajah Mada, masa kecil hingga menjadi pejabat kepercayaan Prabu Hayam Wuruk, raja Majapahit. Massa dengan tekunnya mendengarkan cerita itu.

Tapi, di tengah cerita, Pak Harmoko, bertanyak kepada masyarakat yang hadir. “Masih ingin lanjut nggak?” Kontan saja, masyarakat minta cerita dilanjutkan. Lantas, beliu berkata yang langsung mengundang tawa semuanya.

“Nek, lanjut kuwi, wani mbayar piro? (Kalau lanjut, mau berani bayar berapa?)” kontan semua tertawa geerrr.

Begitulah, Pak Harmoko, Bahkan, beliau bicara tak disangka-sangka, yakni yang biasa menjadi omongan di masyarakat. “Tahu, nggak nama saya. Harmoko. Harmoko itu apa? Ada yang bilang Hari-hari omong kosong,” kembali hadirin semua tertawa.

"Saya kalau bicara, Menurut petunjuk Bapak Presiden. ternyata banyak yang menirukan," sekali lagi, hadirin tergelak-gelak. "Lha harus menurut petunjuk siapa? Orang atasan saya Bapak Presiden," ungkap Pak Harmoko dengan mimik tertawa pula, disambut tawa hadirin.

Di Kertosono, di kampung halamannya, beliau memang menjadi tokoh dan kebanggaan masyarakat di sana. Di sana Pesantren Al Barokah berdiri, dan di sana pula beliau sering menginap.

Beliau juga mendirikan pesantren lain, di wilayah Wonogiri, Pesantren Hanacaraka. Nama ini, beliau terinspirasi jaman dakwah Kanjeng Sunan Kalijaga, dan wali lainnya.

Pak Harmoko pernah menyatakan, jaman Sunan Kali, dakwah awal pastinya pakai bahasa Jawa, busana Jawa, karena masyarakat baru mengenal Islam. 

Pendekatan, harus menggunakan kultur Jawa, dan itu membuat Islam bisa berkembang di Jawa. Di masa sepuhnya, beliau memang banyak perhatian terhadap pesantren.

Bahkan, pernah satu kejadian, beliau bicara: duit semono luwih becik nggo mbangun gedung pesantren wae (duit segitu lebih baik untuk membangun gedung pesantten saja.”

Sugeng tindak Pak Harmoko, mugi minulya ing kaswargan. (Selamat jalan Pak Harmoko, semoga bahagi di alam surgeNya.) Amiin. (*)
 

Berita Terkait
News Update