Oleh: H. Harmoko
INDONESIA dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan dan santun. Itulah adab budaya bangsa kita yang menebarkan pesona hingga dunia pun mengaguminya. Tetapi belakangan pesona budaya itu seolah absen dalam masyarakat kita. Ruang publik yang mestinya menebarkan “keadaban”, acap diwarnai hujatan, cacian dan makian.
Kondisi yang demikian tentu menjadi keprihatinan kita bersama, lebih prihatin lagi jika masih ada pejabat publik ikut tergiur, terbawa arus ikut terprovokasi menebar hujatan.
Sebagai pejabat publik hendaknya meneladani penggunaan ruang publik penuh keadaban. Mengedukasi generasi muda kian mencintai adat budaya bangsa sebagai warisan para leluhur yang wajib dijaga agar tidak terkikis akibat derasnya terpaan gelombang budaya asing.
Hadirnya budaya asing sebagai dampak kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, memang tidak bisa kita tolak. Tetapi perlu dikemas sedemikian rupa sehingga kian memperkuat budaya nasional, bukan merapuhkannya.
Pejabat publik sudah sepantasnya menjadikan ruang publik untuk memupuk persatuan dan kesatuan, bukan merenggangkan dengan memperkuat kelompok dukungan. Membangun semangat nasionalisme, bukan semangat partisan.
Yang hendak saya sampaikan adalah para elit negeri ini, siapa pun dia dan apapun adanya hendaknya meneladani “keadaban” di “ruang publik” . Meneladani berarti memberi contoh yang baik dengan melaksanakannya, mematuhinya, bukan mengingkarinya. Sementara keadaban bermakna kehalusan dan kebaikan budi pekerti, kesopanan dalam bertutur kata. Lebih luas lagi perilaku perbuatannya.
Keadaban tidak asing lagi bagi bangsa kita. Keadaban yang bercirikan kehalusan budi pekerti, sopan santun dan ramah tamah telah menjadi jati diri bangsa Indonesia sejak dulu kala.
Menjadi kewajiban bagi setiap anak negeri untuk menjaganya, merawatnya dengan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari – hari. Mulai dari lingkup terkecil, keluarga, hingga lingkungan masyarakat.
Mulai dari ruang yang bersifat privacy, lebih – lebih di ruang publik seperti di media sosial, ruang dialog baik di televisi,media online dan media massa lainnya yang tentu akan terbuka menjadi konsumsi publik.
Itulah sebabnya membangun keadaban di ruang publik, sebut saja keadaban publik menjadi keniscayaan. Artinya segala ucapan dan perbuatan yang mencerminkan "ketidakadaban" harus disingkirkan karena tak sesuai dengan etika dan adab budaya bangsa.
Saling hujat, menghasut, caci memaki dan mencerca yang bersifat pribadi, apalagi hampa substansi, tak perlu lagi terjadi di ruang publik. Selain tidak sesuai dengan etika dan adab budaya bangsa, juga sebuah pengingkaran terhadap falsafah bangsa kita, Pancasila sebagai pedoman hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Merujuk kepada nilai – nilai dasar falsafah bangsa, maka keadaban yang perlu dibangun di ruang publik dengan senantiasa menampilkan pesona kesantunan. Santun dalam ucapan dan tulisan (cuitan), santun pula dalam merespons dialog di ruang publik, meski beda aspirasi politik.
Setiap individu hendaknya lebih bertanggung jawab dengan mengedepankan etika ketika bertiwikrama satu sama lain di ruang publik.Tentu dalam bingkai saling menghormati hak orang lain. Menjunjung tinggi harkat dan martabat orang lain, bukan merendahkan martabat orang lain.
Ingat! Dengan sengaja merendahkan martabat orang lain, sejatinya telah merendahkan diri sendiri di hadapan publik. (*).