Kemudian handsanitizer itu kembali dilakukan uji laboratorium ke Sucofindo pada 29 Juli 2020, dan hasil laboratorium dikeluarkan pada 14 Agustus 2020, dengan hasil handsanitizer memiliki kemampuan terhadap 1 dari 5 anti bakteri.
Selain itu, pada saat penyusunan surat pesanan, PPK tidak meminta contoh barang dan tidak mengklarifikasi sumber barang atau handsanitizer tersebut. Sedangkan PT DSB melakukan pengadaan 66 ribu botol handsanitizer melalui dua perusahaan.
Yakni, CV LKI sebanyak 14.500 liter handsanitizer dalam kemasan jerigen 5 liter yang kemudian dikemas ulang dalam kemasan 250 ml kedalam 58 ribu botol. PT DSB juga membeli 8 ribu botol dari perusahaan lain, namun tidak diketahui asal pabrikan barang tersebut.
Sehingga, 66 ribu botol handsanitizer pengadaan dari PT DSB itu tidak memiliki izin produksi dan izin edar Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Kemudian PT DSB menyerahkan handsanitizer dilengkapi hasil uji lab Sucofindo, izin produksi dan izin edar kementerian kesehatan. Namun setelah diklarifikasi ternyata rekayasa atau ilegal.
Dalam pemeriksaan Inspektorat Banten, diketahui bahwa PT DSB telah melanggar Perpres nomor 16 tahun 2018, Permenkes nomor 1186/MENKES/PER/VII/2020 tentang produksi alat kesehatan, perbekalan kesehatan rumah tangga.
Kemudian, Permenkes nomor 62 tahun 2017 tentang izin edar alat kesehatan, dan peraturan Gubernur Banten nomor 48 tahun 2019 tentang pedoman pelaksanaan APBD tahun 2020.
Kepala BPBD Provinsi Banten Nana Suryana saat dikonfirmasi membenarkan adanya temuan tersebut. Bahkan Inspektorat juga menemukan adanya kelebihan pembayaran sekitar Rp200 juta, namun telah dikembalikan.
“Sudah ditindaklanjuti sesuai Laporan Hasil Audit (LHA) Inspektorat dan BPKP tahun 2020,” katanya. (kontributor banten/luthfillah)