AKSI pemalakan dan pungutan liar terhadap para sopir truk trailer sudah berlangsung lama dan sudah membudaya di wilayah Jakarta Utara. Saking lamanya, pungutan liar itu sudah berganti generasi dan mengakar. Aksi pungutan liar di lingkungan pelabuhan dan beberapa titik akses jalan menuju pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara menggambarkan aparat dan instansi terkait selama ini tidak serius menanganinya.
Setiap hari para sopir trailer harus mengeluarkan uang Rp 5 ribu hingga Rp 10 ribu kepada oknum agar urusan bongkar muat di dalam pelabuhan bisa segera diproses. Itu artinya, jika ada fulus (uang) maka bongkar muat peti kemas langsung diproses tanpa perlu menunggu waktu lama. Selain itu, sopir trailer yang keluar masuk di pintu pemeriksaan juga masih dikutip biaya Rp 2 ribu oleh oknum petugas security.
Ironisnya, di sejumlah titik saat jam macet jalanan, para sopir juga masih berhadapan dengan premanisme. Pelaku kerap berkedok sebagai pengamen atau pak ogah yang mengatur persimpangan jalan. Begitu ada kesempatan, mereka para pelaku menggasak barang berharga milik para sopir.
Para pelaku sering beraksi saat petugas tidak ada di lokasi, terutama jam-jam sibuk atau situasi jalanan dalam keadaan macet. Titik lokasinya, di Jalan Raya Cakung Cilincing (Cacing), Jalan Raya Akses Marunda dan Jalan Raya Cilincing, Jakarta Utara yang berbatasan dengan wilayah Jakarta Timur. Lokasi lainnya yang sering terjadi aksi pemalakan itu di perbatasan wilayah Jakarta Utara menuju Pelabuhan Marunda Center, Segara Makmur, Kabupaten Bekasi.
Namun sejak beberapa hari operasi premanisme gencar dilakukan pihak kepolisian, para pelaku mulai tidak memperlihatkan batang hidungnya.
Operasi pemberantasan premanisme mendadak dilakukan setelah Kapolri mendapat perintah langsung dari Presiden Joko Widodo saat tatap muka dengan para sopir trailer di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok. Instruksi ini langsung menjadi atensi, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo minta jajarannya di seluruh Indonesia menindak tegas premanisme dan pelaku kejahatan konvensional lainnya yang meresahkan masyarakat.
Bahkan Kapolri memantau langsung hingga memberikan teguran kepada para Kapolda dan Kapolres yang belum melakukan pemberantasan premanisme di wilayahnya masing-masing. Respon atas kesigapan Kapolri patut diberi acungan jempol. Namun sangat disayangkan atensi dari pejabat selevel Presiden Jokowi tidak hanya terarah ke satu Kotamadya saja. Apalagi tidak sulit untuk melihat betapa premanisme dan pungli berlangsung di mana-mana dengan skala yang berbeda.
Menurut Ahli Kriminologi Forensik Reza Indragiri Amriel, konsekuensinya tidak cukup pihak kepolisian saja yang bekerja di lapangan. Unit intel juga perlu memperluas endusannya guna menelusuri ada tidaknya personel yang nakal di balik premanisme itu.
Kapolri sudah bekerja dengan cepat dan melakukan penindakan aksi premanisme. Namun semua itu belum cukup. Efek gentar sekaligus efek jera baru muncul kalau unsur keajegan juga terealisasi. Jadi, kecepatan dalam menindak premanisme dan palakisme harus tetap dijaga konsistensinya. Tidak hanya kali ini saja serta menunggu telepon dari presiden. **