Hal ini diamini oleh rekannya sesama sopir kontainer, Abdul Hakim, yang menyebut bahwa kemacetan merupakan penyebab para preman bisa leluasa menjalankan aksinya.
"Kalau mungkin lancar, ini mungkin tidak ada, Pak. Jadi ini kendala kita ini kemacetan aslinya, Pak. Jadi kami mohon kepada Bapak Presiden, bagaimana solusi ini ke depannya," kata Abdul Hakim.
"Karena kami, Pak sakit hati sebenarnya, Pak kalau dibilang sakit hati. Saya kira begitu. Tidak ada kenyamanan untuk supir kami, supir - supir yang mengemudi di Tanjung Priok," keluhnya.
Selain soal premanisme, Abdul Hakim juga menceritakan soal banyaknya pungutan liar (pungli) di sejumlah depo.
Depo sendiri adalah tempat meletakkan kontainer yang sudah dipakai atau mengambil kontainer yang akan dipakai shipping line.
Menurutnya, para karyawan depo sering meminta imbalan berupa uang tip agar laporannya bisa diproses segera.
"(Mereka) itu meminta imbalan lah, kalau enggak dikasih, kadang diperlambat. Itu memang benar-benar, seperti Fortune, Dwipa, hampir semua depo rata-rata. Itu Pak," katanya kepada Jokowi.
"Yang sekarang itu yang saya perhatikan itu yang agak-agak bersih cuma namanya Depo Seacon dan Depo Puninar, agak bersih sedikit. Lainnya hampir rata-rata ada pungli, Pak," beber pria berusia 43 tahun tersebut.
Ia menceritakan ketika membawa kontainer dalam keadaan kosong dan untuk diambil harus ada uang tip.
"Itu, kalau enggak dikasih, ya masih dikerjakan cuma diperlambat. Alasannya, 'Yang sana dulu, yang ada duitnya" ungkapnya.
Mendengar cerita para sopir kontainer, Presiden lantas memanggil ajudannya, Kolonel Pnb. Abdul Haris. Rupanya, Presiden meminta untuk menghubungi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melalui telepon.
"Enggak, ini saya di Tanjung Priok, banyak keluhan dari para driver kontainer yang berkaitan dengan pungutan liar di Fortune, di NPCT 1, kemudian di Depo Dwipa. Pertama itu," jelas Presiden.